LAFAZ KHUSUS:
PENGERTIAN, KETENTUAN LAFAZ KHAS
SECARA GARIS BESAR, DAN CONTOHNYA
Makalah ini dibuat sebagai syarat
untuk memenuhi mata kuliah
Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah
Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag
ABUSTAN
Nim: 15750013
SEMESTER II
PROGRAM MAGISTER STUDI ILMU AGAMA
ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015-2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur kehadirat Allah swt. Yang telah memberi nikmat sehingga masih tetap
istiqamah dalam menjalankan aktivitas rutin yaitu mencari ilmu pengetahuan dan
berusaha untuk selalu mengamalkannya. Shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad saw. Yang telah diberikan
amanah oleh Allah untuk selalu memberi petunjuk kepada ummatnya melalui
al-Qur’an dan Sunnahnya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan
semaksimal mungkin.
Makalah ini
mengarahkan kepada kita untuk mengkaji tentang lafaz khusus dalam bidang Ushul
Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah agar supaya dalam mengambil dasar hukum Islam baik
dalam al-Qur’an maupun al-Hadith bisa terarah dan tidak melenceng dari
kaidah-kaidah yang sudah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Sehingga sebagai
Umat Islam dapat memiliki pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Ucapan terima
kasih pemakalah sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian makalah ini terutama Ibu Dosen sehingga dapat menjadi sumbangsih
bagi siapa saja yang meneliti tentang tema yang ada dalam makalah ini.
Demikianlah
makalah ini dibuat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya, penulis telah
berupaya dengan keras untuk menyelesaikannya walaupun masih terdapat banyak
kekurangan. Sehingga masih memerlukan saran dan krtikan dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah berikutnya.
Wallahu Muwaffiq Ila Thariqil Haq
Wassalamu ‘alaikum wr. Wb.
Malang, Maret
2016
Penulis; Abustan
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Melihat perkembangan zaman yang begitu drastis
mengharuskan para ulama untuk berijtihad dalam merumuskan suatu hukum yang
berkenaan dengan permasalahan yang muncul dikalangan umat manusia khususnya
umat Islam sehingga dalam menentukan hukum atau produk hukum (Fiqh) terlebih
dahulu harus mengetahui sumber materi, atau cara usaha dalam menentukan suatu
materi itu disebutlah sebagai Ilmu Ushul Fiqh.
Dengan demikian menjadi kewajiban bagi umat Islam dalam menggali sumber hukum dengan
mempelajari cara-caranya agar kelak tidak salah dalam menentukan penentuan
suatu hukum itu. Seperti halnya dalam makalah ini membahas mengenai lafaz
khusus atau lafaz khas yang keduanya sama dalam Bahasa Indonesia tapi mempunyai
perbedaan dalam Ushul Fiqh. Oleh karena itu, menarik untuk menjadi pembahasan
dalam makalah ini sebagai suatu kajian dan merupakan pembelajaran bagi penulis
sendiri supaya kedepannya bisa menjadi bukti fisik dari setiap perjalanan
akademiknya.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan Lafaz Khusus,
Ketentuannya secara garis besar beserta contohnya?
2.
Bagaimana cara mengetahui tentang takhshish
beserta dalilnya, Mukhashish yang terpisah dari lafaz ‘am dan yang menyatu?
3.
Bagaimana bentuk Macam-macam takhshish beserta
contohnya?
4.
Bagaimana bentuk masalah takhshish beserta
contohnya?
5.
Apa yang dimaksud dengan Mutlaq dan Muqayyad
serta apa hubungan diantara keduanya?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan dalam membahas makalah ini yaitu
untuk mengetahui seluk-beluk yang berkaitan dengan lafaz Khusus serta sebagai
bahan pertimbangan dalam mata memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh dan Qawaid
Fiqhiyyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lafaz Khusush
(Khash)
1.
Pengertian Khushush
Khushush merupakan
lawan dari pengertian ‘am (umum). Khash
adalah lafaz yang diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan yang
tertentu. Baik menunjuk pribadi seseorang
seperti si Abdullah, menunjuk kelompok seperti laki-laki, atau sesuatu
yang tidak terbatas seperti kaum.
Para ulama Ushul sebenarnya berbeda
pendapat mengenai definisi khas akan tetapi pada hakikatnya sama seperti
yang dikemukakan di sini sebagai berikut:
هُوَ اللَّفْظُ المَوْضُعُ لِمَعْنَى
وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الِانْفِرَادِ
Artinya:
“Suatu lafaz yang dipasangkan pada satu arti
yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal. ”
Adapun menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya,
beliau membedakan antara khusush dengan khas. Khas adalah
apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafaz,
sedangkan pengertian Khushush adalah apa yang dikhususkan menurut
ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Kemudian ketentuan lafaz Khas dalam
garis besarnya sebagai berikut:
a.
Bila lafaz Khas lahir dalam bentuk nash
syara’ (teks hukum), maka ia menunjukkan hal yang pasti dan meyakinkan. Seperti
dalam QS. al-Maidah (5): 89 yang penggalannya sebagai berikut:
(......
ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) Íou|³tã tûüÅ3»|¡tB ....
Artinya:
“..Maka Kaffarahnya adalah memberi makan
sepuluh orang miskin....”
oleh karena itu, hukum yang pasti dalam ayat di
atas adalah memberi makan sepuluh orang miskin tidak kurang atau lebih.
b. Bila ada dalil yang menghendaki pemahaman lain
dari lafaz Khas itu maka dapat dialihkan kepada yang dikehendakinya.
Seperti Sabda Nabi saw. berikut:
فِى
كُلٍّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ
Artinya:
“Untuk setiap empat puluh ekor kambing,
(zakatnya) satu ekor kambing ”
Oleh ulama Hanafi dita’wilkan kepada
yang lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya.
c.
Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat ‘am
dan kasus lain ditemukan hukum yang khushush, maka lafaz khas itu
menjelaskan kepada sebagian (afradnya) individu-individunya seperti di
dalam QS. al-Baqarah (2): 228 sebagai berikut:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% ..........
Artinya:
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya beriddah selama tiga
kali quru’.......”.
Keharusan
menjalani masa iddah selama tiga kali quru’ itu berlaku ‘am untuk
semua perempuan tapi ada ketentuan lain yang berlaku khusus bagi perempuan yang
hamil seperti dalam QS. at-Thalaq (65): 4 sebagai berikut:
4....
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4
....
Artinya:
“...perempuan-perempuan
yang hamil, iddahnya bila telah lahir anaknya....”
Ayat ini
terkhusus pada yang hamil sehingga tidak berlaku secara umum, maka dari itu
inilah yang disebut dengan membatasi atau mengurangi afrad lafaz ‘am lalu
disebut sebagai “takhshish”.
d.
Bila ditemukan perbenturan antara dalil khas
dengan dalil ‘am maka terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut:
1)
Menurut ulama Hanafiyah, kalau
kedua dalil itu bersamaan datangnya maka dalil yang khas mentakhshishkan
yang ‘am. Jika keduanya tidak bersamaan waktunya maka ada dua
kemungkinan yaitu lafaz khas menasakh lafaz ‘am jika lafaz ‘am
datang kemudian atau lafaz khas menasakh
lafaz ‘am dalam sebagian afradnya jika lafaz khas datang
belakangan.
2)
Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya
perbenturan karena lafaz khas menjelaskan lafaz ‘am.
B.
Takhsish (التخصيص)
1.
Pengertian Takhsish
Pengertian Takhsish adalah menjelaskan
apa yang dimaksudkan dari ‘am atau me-nasakh-kan sebagian
hukumnya, karena itu diharuskan mukhashshish setingkat dengan mukhashshash.
Dalilnya kadang-kadang tidak berdiri sendiri, lafaznya dari nash yang
umum, kadang-kadang pula dalilnya itu berdiri sendiri dan terpisah dari nash
umum.
Menurut al-Khudhari Beik dan Abdul Wahab yang
dikutip oleh Amir syarifuddin bahwa inti dari Takhsish itu adalah penjelasan
tentang hukum pada lafaz ‘am yang sejak semula memang ditentukan untuk
sebagian afradnya saja. Secara singkat takhsish berarti
penjelasan atau menjelaskan.
Akan tetapi menurut Qadhi al-Baidhawi dan Ibn
Subki secara inti dari takhsish itu adalah bukan sebagai penjelasan
sehingga tidak ada halangan jika datangnya terlambat dari lafaz ‘am. Mengenai perbedaan antara takhsish dengan
nasakh bahwa takhsish itu mengeluarkan sebagian afradnya
sedangkan nasakh ada yang mengeluarkan sebagian dan ada yang
mengeluarkan seluruh afradnya.
Oleh karena itu hukum takhsish adalah
boleh bila takhsish itu memang dilakukan denga dalil. Dalilnya ada yang
berupa dalil naqli, dalil aqli dan yang lainnya. Tidak ada perbedaan
tentang bolehnya takhsish dengan dalil.
2.
Dalil Takhsish
Hukum dalam bentuk ‘am diamalkan sesuai
dengan keumumannya kecuali ada dalil yang menunjukkan takhsish, maka
dalil itu disebut sebagai mukhassish atau sesuatu yang mentakhshishkan.
Mukhashshish ada dua macam, yaitu dalam bentuk nash (teks) dan
dalam bentuk buka nash.
Dalam hubungannya denga lafaz ‘am.
Mukhassish itu ada yang terpisah dari lafaz ‘am ada pula yang
menyatu. Adapun yang terpisah sebagai berikut:
a.
Takhsish dengan nash (al-Qur’an dan Sunnah)
b.
Takhsish dengan akal pemikiran, baik melalui penyaksian
maupun pemikiran. Contoh dalam bentuk penyaksian umpamanya dalam firman Allah
QS. al-Ahqaf (46):25 yaitu:
تُدَمِّرُ كُلِّ شَيْءٍ
Ayat tersebut menjelaskan bahwa “angin
menundukkan segala sesuatu”. Secara ‘am dalam ayat itu mengandung
arti: apa saja akan ditundukkan oleh angin itu, namun dengan akal yang melalui
penyaksian akan mengatakan ada yang tidak tunduk dengan kepada angin yaitu
langit. Sedangkan contoh bentuk pemikiran seperti di dalam QS. al-Ra’du (13):16
اللّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Dalam ayat itu secara ‘am dikatakan
bahwa Allah pencipta segala sesuatu, namun akal dapat memahami bahwa Allah
sendiri tidak termasuk dalam pengertia ‘am ayat itu karena Allah tidak
diciptakan.
c.
Takhsish dengan adat. Maksudnya adat kebiasaan dapat
mengeluarkan beberapa hal yang dimaksud dengan lafaz ‘am seperti QS.
al-Baqarah (2):233 yaitu:
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. (
Artinya:
“Para
Ibu menyusukan anaknya selama dua tahun penuh”
Ayat
tersebut secara ‘am menghendaki setiap ibu menyusukan anaknya selama dua
tahun penuh. Tetapi adat kebiasaan bangsa Arab yang tidak menyusui sendiri
anaknya mentakhsishkan keumuman maksud ayat tersebut. Sedangkan Mukhassish yang
menyatu dari lafaz ‘am pada bagian berikut ini.
3.
Mukhassish
Muttashil
Mukhassish Muttashil ini terbagi
atas 5 macam sebagai berikut:
a.
Istithna (Pengecualian)
Istithna adalah mengeluarkan sesuatu dari
pembicaraan yang sama dengan menggunakan
kata “kecuali” atau kata lain yang sama maksudnya denga itu. Seperti di dalam
QS. al-Ashr (103):2-3 sebagai berikut:
¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 Aô£äz ÇËÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ....
Artinya:
“Sesungguhnya
manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali yang beriman dan melakukan amal
shalih.... ”
Kata
“al-Insan” (manusia) dalam ayat tersebut adalah ‘am karena
ia adalah lafaz jama’ yang disertai alif-lam jinsiyyah. Secara ‘am ayat
ini mengandung arti bahwa semua manusia akan merugi. Keumuman ayat ini ditakhsish
oleh istitsna yang terdapat pada ayat sesudahnya yaitu kecuali orang
yang beriman dan beramal shalih. Sehingga kata tersebut keluar dari keumuman
kata al-Insan.
b.
Syarat
Syarat ialah sesuatu yang lazim dengan tidak
adanya, tidak ada yang diberi sifat (mausuf), tetapi tidak lazim dengan
adanya mausuf. Contoh takhsish dengan syarat pada QS. an-Nisa
(4): 101 sebagai berikut:
#sÎ)ur ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ....
Artinya:
“Bila kamu
berada dalam perjalanan tidak ada halangannya kamu mengqashar shalat bila takut
akan difitnah orang kafir....”
Kebolehan
mengqashar sholar secara ‘am asalkan dengan syarat dalam perjalanan.
c.
Sifat
Sifat
adalah sesuatu hal atau keadaan yang mengiringi dan menjelaskan sesuatu zat
atau perbuatan. Contoh takhsish ‘am dengan sifat pada QS. an-Nisa (4):25
sebagai berikut:
...
`ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷r& `ÏiB ãNä3ÏG»utGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# .....
“...
maka boleh kamu mengawini hamba sahaya diantaramu yang mukminat....”
Lafaz ãNä3ÏG»utGsù merupakan
sifat bagi lafaz M»oYÏB÷sßJø9$# itu. Berarti kebolehan mengawini hamba sahaya
itu dibatasi oleh hamba sahaya yang mukminat saja, yang tidak mukminat berarti
keluar dari kandungan ayat tersebut.
d.
Limit
waktu (ghayah)
Ghayah adalah limit
waktu yang mendahului lafaz ‘am sehingga kalau ia tidak ada, maka akan
terliput semua afrad ‘am (waktu). Seperti QS. at-Taubah (9):29 sebagai
berikut:
(#qè=ÏG»s% úïÏ%©!$# w cqãZÏB÷sã ..... 4Ó®Lym (#qäÜ÷èã spt÷Éfø9$# ....
Artinya:
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman....., hingga mereka membayar jizyah...”
Maksudnya
adalah keumuman memerangi orang kafir ditakhsish kepada yang tidak bayar
jizyah mempunyai limit waktu sampai dia membayar, ketika sudah membayar
berarti tidak diperangi lagi.
e.
Bagian
sebagai pengganti keseluruhan
Seperti
di dalam QS. Ali Imran (3):97 sebagai berikut:
...
3
¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y ....
Artinya:
“.....kewajiban
manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah haji ke baitullah bagi orang
yang mampu berjalan kesana...”
Lafaz
من adalah pengganti (badal) dari lafaz الناس (manusia) yang telah
disebutkan sebelumnya. Keumumanya pada kewajiban semua manusia untuk naik haji
tapi ditakhsish kepada orang yang mampu saja, berarti yang tidak mampu
tidak diwajibkan.
Macam-macamnya terbagai atas 7 bagian sebagai berikut:
1. Takhsish al-Qur’an dengan al-Qur’an
Jumhur Ulama sepakat atas dibolehkannya mentakhsish
al-Qur’an dengan al-Qur’an. Karena melihat banyaknya lafaz ‘am yang
ditakhsish oleh al-Qur’an itu sendiri seperti QS. al-baqarah (2):228 ditakhsish
oleh QS. al-Baqarah (2):234 sebagai berikut:
Pada QS. al-baqarah (2):228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% ...
Artinya:
“Perempuan-perempuan
yang bercerai dari suami untuk beriddah sampai 3 quru’”
Ayat
ini berlaku umum untuk semua perempuan tanpa melihat keadaan perempuan saat
bercerai, maka pengertian ‘am nya ditakhsish oleh QS. al-Baqarah
(2):234:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ...
Artinya:
“Orang-orang
yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri hendaknya mereka menunggu
selama 4 bulan sepuluh hari...”
Ayat
ini terkhusus pada perempuan yang cerai karena kematian dan beriddah selama 4
bulan 10 hari, maka hukum am’ yang mengaharuskan beriddah selama 3 quru’
tidak laki berlaku bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.
2. Takhsish al-Qur’an dengan Sunnah
Untuk sunnah yang mutawatir jumhur ulama
sepakat al-Qur’an ditakhsish dengan sunnah akan tetapi jika kualitasnya ahad
maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini sebagai berikut:
a. Imam mazhab
yang 4 sepakat
b. Segolongan ulama
kalam menolak secara mutlak
c. Isa ibnu Abban
(kalangan Hanafi) boleh hanya pada dalil ‘am itupun sudah ditakhsish
dengan dalil yang qath’i
d. Al-Harakhi
(Hanafi) boleh hanya ketika dalil sudah ditakhsish dengan dalil yang
terpisah.
e. Qadhi Abu
Bakar memilih sikap tawaqquf.
Adapun
contoh yang ditakhsish khabar ahad pada QS. an-Nisa
(4):11:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# ....
Artinya:
“Allah
telah mewasiatkan untukmu tentang anak-anakmu bahwa bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan”
Kemudian
ditakhsish oleh hadith Nabi dari Umar yang dikeluarkan Malik dalam kitab
al-Muwatta:
القَاتِل
لَا يَرِثُ.
Artinya:
“Pembunuh
tidak mendapat hak waris”.
3. Takhsish Sunnah dengan al-Qur’an
Sama halnya dengan poin 2. Pada bagian ini juga
terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama sebagai berikut:
a. Kebanyakan
ulama fiqh dan kalam juga pengikut Syafi’i dan Hanbali membolehkan. Dengan
alasan banyak terjadi keumuman pada Sunnah nabi seperti :
البِكْرُ بِاالبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ
وَنَفْيُ سَنَةٍ.
Artinya:
“perawan
yang berzina dengan bujangan hukumannya adalah dipukul 100 kali dan dibuang
setahun”.
Pengertian
‘am hadith ini ditakhsish oleh QS. an-Nisa (4):25: yang menjelaskan
sangsi untuk hamba sahaya hanya separuh yang dikenakan dari orang yang merdeka.
b. Ulama
yang menolak menggap bahwa yang asal itu bukan sunnah tapi al-Qur’an dan memang
juga Nabi diperintahkan untuk sebagai penjelas bagi al-Qur’an bukan sebaliknya.
4. Takhsish Sunnah dengan Sunnah
Pada bagian ini pun sama ada yang pro dan ada yang
kontra, tapi kebanyakan ulama yang sepakat sebagai berikut:
a. Jumhur ulama
yang sepakat bahwa boleh takhsish Sunnah dengan Sunnah baik itu qauliyah,
fi’liyah maupun takririyah seperti hadith Nabi dari Sa’ad bin
Abdullah menurut riwayat Bukhari:
فِيْمَا
سَقَتِ السَّمَاءُوَالعُيُوْنُ اَوْكَانَ عُثْرِيَّا العُشْرُ.
Artinya:
“Tanaman
yang diairi oleh hujan, mata air dan sungai, zakatnya sepersepuluh”.
Hadith
ini secara ‘am menjelaskan mengeluarkan zakat sudah mencapai nasab atau
belum. Kemudian ditakhsish oleh Hadith Nabi dari Sa’id (muttafaq ‘alaih):
لَيْسَ
فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةٍ أَوْسَقٍ مِنْ ثَمَرٍ وَلَا حَبَّ صَدَقَةً.
Artinya:
“Buah-buahan
dan biji-bijian yang kurang dari lima wasaq tidak diwajibkan zakat”.
Adanya hadith
tersebut menjelaskan terkenanya zakat ketika sudah melebihi 5 wasaq, artinya
mencapai hitungan (nasab) itu.
b.
Ulama
yang tidak sepakat seperti sebelumnya bahwa Nabi hanya menjadi penjelas bagi
al-Qur’an bukan sesama sunnah itu.
Maksudnya adalah mengetahui maksud sesuatu dengan
lafaz ‘am melalui ijma’ ulama yang menjelaskan bahwa maksud dari apa
yang dikehendaki lafaz ‘am tersebut. Menurut Al-Hamidi yang dikutip oleh
Amir Syarifuddin bahwa tidak ditemukan perbedaan pendapat dari bolehnya
mentakhsish al-Qur’an dan Sunnah dengan Ijma’ karena mempunyai kekuatan dalam
menunjukkan dilalah terhadap hukum.
Sebagai
contoh QS. al-Jumu’ah (62): 9 :
#sÎ)....
ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (....
Artinya:
“jika diseru
untuk melakukan shalat di hari jum’at maka segeralah pergi sholat (mengingat
Allah)...”
Secara umum
mewajibkan semua orang beriman untuk sholat jum’at baik laki-laki maupun perempuan maka ijma’ ulama yang menyandarkan
kepada nabi bahwa perempuan tidak wajib melaksanakan sholat jum’at.
Maksudnya
adalah suatu kejadian yang tidak ada hukumnya lalu diqiyaskan kepada hukum yang
terdapat dalam al-Qur’an atau Hadith berdasarkan adanya illat yang sama.
Kemudia hukum yang ditemukan oleh mujtahid digunakan untuk membatasi hukum umum
yang ada di dalam al-Qur’an dan Hadith itu. Seperti QS. an-Nur (24):2:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ....
Artinya:
“Pezina
perempuan dan pezina laki-laki pukullah masing-masing seratus kali pukulan”.
Secara umum
ayat ini menetapkan kewajiban hukuman untuk orang merdeka maupun hamba sahaya.
Dalil khusush yang menyangkut zina ini hanya tentang hamba sahaya perempuan di
dalam QS.an-Nisa (4):25 :
...
£`Íkön=yèsù ß#óÁÏR $tB n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÆÏB É>#xyèø9$# ....
Artinya:
“.....Atas
hamba sahaya perempuan dikenakan hukuman separuh dari yang dibebankan kepada
perempuan yang merdeka.....”.
Dalam
ayat di atas yang hanya disebutkan hamba sahaya perempuan yang mendapatkan
hukuman separuh akan tetapi pada QS. an-Nur (24):2 laki-laki hamba sahaya belum
disebutkan seperti di QS.an-Nisa (4):25. Oleh karena itu diqiyaskan
menjadi sama dengan hukuman hamba sahaya perempuan pezina.
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai
bolehnya takhsish dengan Qiyas sebagai berikut:
a. Ulama Zuhairi
menolah secara mutlak.
b. Imam Mazhab
yang 4, al-Asy’ari dan segolongan ulama mu’tazilah
membolehkan qiyas sebagai Mukhassish secara mutlak dalam bentuk apapun.
c. Segolongan
ulama menempuh jalan tengah.
d. Imam Haramain
dan Qadhi Abu Bakar memilih tawaquf.
7. Takhsish dengan Mafhum
Artinya suatu lafaz yang bisa dipahami dari mafhum
muwafaqah
dengan mafhum mukhalafah
yang berasal dari Mantuq,
sehingga dapat mentakhsish keumuman al-Qur’an dan Sunnah sebagai dalil.
Para ulama juga berbeda pendapat dalam hal ini, Jumhur
Ulama mebolehkan sedangkan sebagian ulama yang tidak membolehkan karena
beralasan bahwa yang mantuq itulah yang harus didahulukan. Adapun contoh
takhsish dengan mafhum muwafaqah pada hadith Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya:
لِلْوَاجِدِ يَحِلُّ عِرْضُهُ
وَعُقُوْبَتُهُ.
Artinya:
“Orang
yang enggan bayar hutang sedangkan ia mempunyai harta untuk membayarnya, boleh
dibentak dan disiksa.”
Jadi baik orang tua sendiri ataupun orang lain secara keumuman
boleh disiksa maka ditakhsish oleh mafhum muwafaqah pada QS. al-Isra’ (17): 23
...
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? ....
Artinya:
“janganlah
kamu berkata kasar kepada ibu bapakmu dan jangan memukulnya”
Dengan
keumuman hadith diatas ditakhsish dengan mafhum muwafaqah yaitu terbatas pada orang lain bukan kepada orang tua
sendiri.
Begitupun
pada takhsish dengan mafhum mukahalafah pada hadith Nabi menurut
riwayat Ibnu Majah:
المَاءُ
لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أِالَّا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ.
Artinya:
“Air itu
tidak akan dikenai najis kecuali bila telah berubah baunya, rasanya dan
warnanya.”
Keumumannya
air dalam ukuran apapun tidak akan mengandung najis selama tidak berubah
baunya, rasanya dan warnanya. Ini ditakhsish oleh mafhum mukahalafah pada hadith Nabi yang diriwayatkan
Ibnu Majah juga:
اذَا بَلَغَ المَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ
يَحْمِلِ الخَبَثَ
Artinya:
“Bila sampai
air itu dalam ukuran dua Qullah ia tidak akan mengandung najis”
mafhum
mukahalafah dari
hadith tersebut adalah Bila air tidak sampai ukuran dua qullah maka air itu
bernajis. Jadi dia membatasi hadith pertama di atas pada ukuran dibawah dua
qullah itu.
D.
Beberapa Masalah Takhsish
1.
Menyebutkan sebagian Afrad lafaz Umum
Penyebutan
sebagian afrad (khushush) dari lafaz ‘am itu hukumnya ada
yang sama dengan hukum yang terdapat dalam lafaz ‘am, ada pula lafaz khushush
yang berbeda dari lafaz ‘am itu sendiri.
a.
Bila
ada lafaz khushush (salah satu afrad dari lafaz ‘am) yang
disebutkan hukumnya itu berbeda dengan lafaz ‘am maka lafaz Khushush
itu mentakhshish lafaz ‘am. Inilah yang pernah diuraikan
sebelumnya.
b.
Bila
lafaz khushush yang merupakan salah satu afrad dari lafaz ‘am
itu hukumnya bersamaan dengan hukum yang ditetapkan dalam lafaz ‘am,
maka dalil khushush tidak mentakhshish dalil ‘am. Dengan
demikian terdapat dua bentuk dalam hal ini. Yaitu lafaz khushush yang
tidak bertindak sebagai sebagai mukhashsish. Dan lafaz khushush
yang disamping menjelaskan hukum untuk dirinya juga membatasi penggunaan lafaz
‘am (bertindak sebagai mukhashsish).
Contohnya: QS.
al-Baqarah (2):267:
(#qà)ÏÿRr&....
`ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$#
Artinya:
“....Nafkahkanlah
apa-apa yang baik dari hasil usahamu dan apa-apa yang kami keluarkan untukmu
dari dalam bumi...”
Dari pengertian
‘am ayat ini dipahami bahwa semua hasil usaha dan hasil bumi wajib
dizakati, kemudian secara khsusush nabi mengatur zakat hewan ternak,
tumbuh-tumbuhan, emas dan perak, barang tambang dll. Masing-masing punya aturan
tersendiri yang mengatur dirinya secara khsusush tanpa mentakhsish
lafaz ‘am pada ayat tersebut. Contoh pada zakat kambing yang telah
disebutkan pada halaman 5. Zakat dari 40 ekor kambing ini tidak mentakhsish
hukum pada ayat tersebut artinya tidak berarti selain kambing tidak wajib untuk
dikeluarkan zakatnya.
Jadi secara
jelas bahwa kegunaan dalil khushush, disamping dapat menjadi bagian
dalil ‘am juga menjelaskan tidak bolehnya mentakhshish terhadap
dalil ‘am itu sendiri.
2.
Menyambungkan
Lafaz Khusus kepada Lafaz Umum
Dalam
al-Qur’an terdapat banyak lafaz khushush yang disambungkan dengan lafaz
‘am. Seperti sabda Nabi:
لَا
يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ وَلَاذُوْ عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ.
Artinya:
“Orang
muslim tidak dibunuh karena membunuh orang kafir dan tidak karena membunuh
kafir yang berada dalam perjanjian pada masa janjinya”.
Secara umum
bahwa tidak dikenai hukum qishash bila membunh orang kafir dalam status apapun.
Tapi kalimat yang disambungkan bersifat khshush yaitu membunuh orang kafir yang
telah mengikat perjanjian dengan muslim. Dengan ini ulama menjadikan
perbincangan sebagai berikut:
a.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa dalil khushush yang disambungkan itu tidak berpengaruh
dengan dalil ‘am, artinya tidak ada takhshish dalam kasus ini.
b.
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa ada takhsish dalam hadith itu, sehingga
muslim yang membunuh kafir harbi (suasana perang) tidak diqishash
tapi yang kafir dzimmi (suasana perjanjian) dikenai qishash
sebagaimana membunuh muslim.
3.
Kembalinya
Dhamir (Kata ganti Orang) kepada Sebagian Afrad
Lafaz
‘am itu ada dhamir yang kembali untuk
menjelaskan bahwa hanya sebagian afrad dari lafaz ‘am itu. Seperti QS.
al-Baqarah (2): 228 yang telah disebutkan pada halaman 10. Dalam ayat tersebut
juga menunjukkan keharusan beriddah karena cerai, apakah talak 1,2 dan 3
sehingga datang firman Allah pada redaksi berikutnya:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 ..... 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) ...
Artinya:
“Suami
mereka lebih berhak merujuk mereka bila keduanya menginginkan kebaikan”.
Dari
ayat ini menjelaskan kebolehan suami merujuk istrinya karena talak1dan 2.
Sedangkan dhamirnya adalah “`d” (semua
perempuan yang diceraikan ).
Apakah
kembalinya dhamir kepada afrad ‘am itu adalah takhshish
atau bukan ? inilah muncul perbedaan dikalangan ulama sebagai berikut:
a.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa kembalinya dhamir yang diketahui kekhushushannya pada
lafaz ‘am menjadikan dalil ‘am itu tidak digunakan untuk seluruh afradnya.
b.
Menurut
al-Hamidi yang dipilih oleh amir syarifuddin bahwa tidak bisa mentakhsish
dalil ‘am karena adanya dalil yang mengiringnya setelahnya sampai ada
dalil lain yang mentakhsishnya.
4.
Afrad
Umum yang Harus Tersisa sesudah Ditakhsish
Para
ulama sepakat bahwa sesudah melakukan takhsish harus ada afrad yang
tersisa, karena kalau habis itu namanya nasakh bukan takhsish.
Dan ini menimbulkan perbedaan dikalangan mereka sebagai berikut:
a.
Imam
Ahmad dan pengikutnya imam malik, sebagian ulama syafi’iyyah dan hanafiyyah
berpendapat bahwa boleh mentakhshish sampai hanya menyisakan satu.
b.
Abu
Hasan al-Basri, imam haramain dan kebanyakan ulama syafi’iyyah mengatakan bahwa
yang tersisa adalah dua atau lebih.
c.
Al-Qaffal,
Ibnu Sabbag dan Abu Ishak Asfaraini berpendapat bahwa bila lafaz ‘am itu jama’
yang tertinggal adalah minimal darinya. Dan bila mufrad maka tersisa hanya
satu.
d.
Al-Zarkasyi
berpendapat bahwa takhsish dilakukan dengan istitsna dan badal
maka yang tersisa adalah satu dan bila ditakhsish dengan cara lain maka
tersisa hanya satu.
5.
Lafaz
Umum Sesudah Ditakhsish
a.
Kedudukan
lafaz Umum yang Telah Ditakhshish
Para ulama juga
berbeda dalam kasus ini, segolongan ulama berpendapat bahwa penggunaan lafaz ‘am
terhadap afradnya yang tersisa adalah secara hakiki dan mutlak.
Segolongannya lagi berpendapat bahwa afradnya yang tersisa adalah majazi.
Dan ulama lainnya memilah-milah sesuai dengan masalahnya dan tidak
memutlakkannya.
b.
Kebolehan
Berhujjah dengan Lafaz Umum Setelah Ditakhshish
Para ulama juga
berbeda pendapat dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa tetap mempunyai
kehujjahan secara mutlak dengan cara apapun ditakhshishnya. Segolongan
ulama diantaranya Isa Ibnu Abban dan Abu Tsaur menolak secara mutlak.
Sebagiannya lagi memilah-milah sesuai dengan dasar berlakunya takhshishan.
1.
Pengertian
Mutlaq Beserta Contohnya
Menurut
Amir syarifuddin bahwa mutlaq secara garis besar adalah lafaz yang
mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Perbedaan
yang mendasar antara lafaz ‘am dengan mutlaq ialah lafaz ‘am
itu meliputi keseluruhan yang berlaku pada satuan-satuan sedangkan lafaz mutlaq
itu bersifat pengganti untuk menggambarkan satuan yang meliputi. Contoh QS.
al-Mujadalah (58):3:
...
ãÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt
Artinya:
“Maka merdekakanlah
hamba sahaya sebelum keduanya bergaul”
Lafaz
“raqabah” yang berarti hamba sahaya adalah mutlaq, disamping
mencakup afradnya yang banyak juga tidak dibatasi untuk afrad
manapun. Disni menunjukkan kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan
yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah sebab lafaz “raqabah”
tidak ditentukan dengan ciri-ciri apapun, jadi hanya menuntut untuk
memerdekakan hamba sahaya apapun.
2.
Pengertian
Muqayyad Beserta Contohnya
Menurut
beliau juga adalah lafaz yang menunjukkan hakikat sesuatu untuk diikatkan
kepada lafaz yang mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu. Contoh pada QS.
an-Nisa (4): 92:
....
4
`tBur @tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãÌóstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ....
Artinya:
“....Barangsiapa
yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah memerdekakan hamba
sahaya yang beriman...”
Pada lafaz “hamba
sahaya yang beriman”itu menandakan bahwa lafaz yang qayid dalam
bentuk sifat.
3.
Bentuk
Hubungan antara mutlaq dengan muqayyad sebagai berikut:
a.
Sasaran
dari dua nash hukum itu adalah satu
b.
Penyebab
timbulnya hukum yang beda tapi mempunyai kesamaan hukum
c.
Penyebab
timbulnya hukum yang sama tapi mempunyai perbedaan hukum
d.
Penyebab
timbulnya hukum yang beda tapi mempunyai perbedaan hukum juga
e.
Terkadang
keduanya ada yang bebentuk membenarkan dan lainnya membantah
f.
Jika
keduanya pada posisi melarang maka lafaz mutlaq diberi qayid
dengan sifat yang ada dalam muqayyad.
g.
Bentuk
lain adalah lafaz muqayyad berada pada dua tenpat yang berbeda, dan ini
menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagai berikut:
1)
Menurut
ulama Syafi’iyyah bahwa lafaz mutlaq harus ditangguhkan kepada salah
satu di antara kedua muqayyad di tempat yang berbeda itu.
2)
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa lafaz mutlaq tidak dapat ditangguhkan kepada
lafaz muqayyad dalam keadaan tersebut karena lafaz muqayyadnya
berbeda hukumnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun yang dapat disimpulakan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Khushush merupakan lawan dari pengertian ‘am
(umum). Khash adalah lafaz yang diciptakan untuk memberi pengertian
satuan-satuan yang tertentu. Baik menunjuk pribadi seseorang seperti si Abdullah, menunjuk kelompok
seperti laki-laki, atau sesuatu yang tidak terbatas seperti kaum
2.
Pengertian Takhsish adalah menjelaskan
apa yang dimaksudkan dari ‘am atau me-nasakh-kan sebagian
hukumnya, karena itu diharuskan mukhashshish setingkat dengan mukhashshash.
Dalilnya kadang-kadang tidak berdiri sendiri, lafaznya dari nash yang
umum, kadang-kadang pula dalilnya itu berdiri sendiri dan terpisah dari nash
umum
3.
Macam-macamnya
terbagai atas 7 bagian: Takhsish al-Qur’an dengan al-Qur’an, Takhsish
al-Qur’an dengan Sunnah, Takhsish Sunnah dengan al-Qur’an, Takhsish
Sunnah dengan Sunnah, Takhsish dengan Ijma’, Takhsish dengan Qiyas,
Takhsish dengan Mafhum.
4.
Permasalahan
dalam takhshish ada 5 yaitu: Menyebutkan sebagian Afrad lafaz
Umum, Menyambungkan Lafaz Khusus kepada Lafaz Umum, Kembalinya Dhamir (Kata
ganti Orang) kepada Sebagian Afrad, Afrad Umum yang Harus Tersisa
sesudah Ditakhsish, dan Lafaz Umum Sesudah Ditakhsish.
5.
Mutlaq secara garis besar adalah lafaz yang mencakup pada jenisnya tetapi
tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya sedangkan muqayyad
adalah lafaz yang menunjukkan hakikat sesuatu untuk diikatkan kepada lafaz yang
mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu
B.
Saran
Mudah-mudahan dengan adanya makalah
ini dapat menambah kehasanan keilmuan di bidang Ushul Fiqh dan menjadi
patokan dalam menggali sumber hukum Islam sehingga kedepannya kita tidak hanya
bertaklid buta tapi sudah bisa membedakan antara hukum yang benar dengan hukum
yang palsu. Oleh karena itu, demi kesempurnaan dalam makalah ini diharapkan
masukan dan sarannya untuk perbaikan ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA