Apa Aja

Apa Aja

Jumat, 07 Oktober 2016

PENGERTIAN, KETENTUAN LAFAZ KHAS SECARA GARIS BESAR, DAN CONTOHNYA

LAFAZ KHUSUS:
PENGERTIAN, KETENTUAN LAFAZ KHAS SECARA GARIS BESAR, DAN CONTOHNYA
Makalah ini dibuat sebagai syarat untuk memenuhi mata kuliah
Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag

ABUSTAN
Nim:  15750013








SEMESTER II
PROGRAM MAGISTER STUDI ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015-2016


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah swt. Yang telah memberi nikmat sehingga masih tetap istiqamah dalam menjalankan aktivitas rutin yaitu mencari ilmu pengetahuan dan berusaha untuk selalu mengamalkannya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad saw. Yang telah diberikan amanah oleh Allah untuk selalu memberi petunjuk kepada ummatnya melalui al-Qur’an dan Sunnahnya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan semaksimal mungkin.
Makalah ini mengarahkan kepada kita untuk mengkaji tentang lafaz khusus dalam bidang Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah agar supaya dalam mengambil dasar hukum Islam baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadith bisa terarah dan tidak melenceng dari kaidah-kaidah yang sudah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Sehingga sebagai Umat Islam dapat memiliki pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari. 
Ucapan terima kasih pemakalah sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini terutama Ibu Dosen sehingga dapat menjadi sumbangsih bagi siapa saja yang meneliti tentang tema yang ada dalam makalah ini.
Demikianlah makalah ini dibuat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya, penulis telah berupaya dengan keras untuk menyelesaikannya walaupun masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga masih memerlukan saran dan krtikan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah berikutnya.
Wallahu Muwaffiq Ila Thariqil Haq
Wassalamu ‘alaikum wr. Wb.
                                                                                                            Malang,  Maret  2016
                                                                                                            Penulis;  Abustan






BAB I
 PENDAHULUAN
A.         Latar Belakang
Melihat perkembangan zaman yang begitu drastis mengharuskan para ulama untuk berijtihad dalam merumuskan suatu hukum yang berkenaan dengan permasalahan yang muncul dikalangan umat manusia khususnya umat Islam sehingga dalam menentukan hukum atau produk hukum (Fiqh) terlebih dahulu harus mengetahui sumber materi, atau cara usaha dalam menentukan suatu materi itu disebutlah sebagai Ilmu Ushul Fiqh.
Dengan demikian menjadi kewajiban bagi  umat Islam dalam menggali sumber hukum dengan mempelajari cara-caranya agar kelak tidak salah dalam menentukan penentuan suatu hukum itu. Seperti halnya dalam makalah ini membahas mengenai lafaz khusus atau lafaz khas yang keduanya sama dalam Bahasa Indonesia tapi mempunyai perbedaan dalam Ushul Fiqh. Oleh karena itu, menarik untuk menjadi pembahasan dalam makalah ini sebagai suatu kajian dan merupakan pembelajaran bagi penulis sendiri supaya kedepannya bisa menjadi bukti fisik dari setiap perjalanan akademiknya.
B.              Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Lafaz Khusus, Ketentuannya secara garis besar beserta contohnya?
2.      Bagaimana cara mengetahui tentang takhshish beserta dalilnya, Mukhashish yang terpisah dari lafaz ‘am dan yang menyatu?
3.      Bagaimana bentuk Macam-macam takhshish beserta contohnya?
4.      Bagaimana bentuk masalah takhshish beserta contohnya?
5.      Apa yang dimaksud dengan Mutlaq dan Muqayyad serta apa hubungan diantara keduanya?
C.           Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dalam membahas makalah ini yaitu untuk mengetahui seluk-beluk yang berkaitan dengan lafaz Khusus serta sebagai bahan pertimbangan dalam mata memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lafaz Khusush (Khash)
1.      Pengertian Khushush
Khushush merupakan lawan dari pengertian ‘am (umum).[1] Khash adalah lafaz yang diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan yang tertentu. Baik menunjuk pribadi seseorang  seperti si Abdullah, menunjuk kelompok seperti laki-laki, atau sesuatu yang tidak terbatas seperti kaum. [2]
Para ulama Ushul sebenarnya berbeda pendapat mengenai definisi khas akan tetapi pada hakikatnya sama seperti yang dikemukakan di sini sebagai berikut: [3]

هُوَ اللَّفْظُ المَوْضُعُ لِمَعْنَى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الِانْفِرَادِ
Artinya:
Suatu lafaz yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal.
Adapun menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya, beliau membedakan antara khusush dengan khas. Khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafaz, sedangkan pengertian Khushush adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Kemudian ketentuan lafaz Khas dalam garis besarnya sebagai berikut: [4]
a.       Bila lafaz Khas lahir dalam bentuk nash syara’ (teks hukum), maka ia menunjukkan hal yang pasti dan meyakinkan. Seperti dalam QS. al-Maidah (5): 89 yang penggalannya sebagai berikut:
(...... ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ....
Artinya:
“..Maka Kaffarahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin....”
oleh karena itu, hukum yang pasti dalam ayat di atas adalah memberi makan sepuluh orang miskin tidak kurang atau lebih. [5]
b.      Bila ada dalil yang menghendaki pemahaman lain dari lafaz Khas itu maka dapat dialihkan kepada yang dikehendakinya. Seperti Sabda Nabi saw. berikut:
فِى كُلٍّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ
Artinya:
Untuk setiap empat puluh ekor kambing, (zakatnya) satu ekor kambing
Oleh ulama Hanafi dita’wilkan[6] kepada yang lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya.[7]
c.       Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat ‘am dan kasus lain ditemukan hukum yang khushush, maka lafaz khas itu menjelaskan kepada sebagian (afradnya) individu-individunya seperti di dalam QS. al-Baqarah (2): 228 sebagai berikut:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% ..........
Artinya:
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya beriddah selama tiga kali quru’.......”.
Keharusan menjalani masa iddah selama tiga kali quru’ itu berlaku ‘am untuk semua perempuan tapi ada ketentuan lain yang berlaku khusus bagi perempuan yang hamil seperti dalam QS. at-Thalaq (65): 4 sebagai berikut: [8]
4.... àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ....
Artinya:
“...perempuan-perempuan yang hamil, iddahnya bila telah lahir anaknya....”
Ayat ini terkhusus pada yang hamil sehingga tidak berlaku secara umum, maka dari itu inilah yang disebut dengan membatasi atau mengurangi afrad lafaz ‘am lalu disebut sebagai takhshish”.[9]
d.      Bila ditemukan perbenturan antara dalil khas dengan dalil ‘am maka terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut:
1)      Menurut ulama Hanafiyah,[10] kalau kedua dalil itu bersamaan datangnya maka dalil yang khas mentakhshishkan yang ‘am. Jika keduanya tidak bersamaan waktunya maka ada dua kemungkinan yaitu lafaz khas menasakh lafaz ‘am jika lafaz ‘am datang kemudian atau lafaz khas  menasakh lafaz ‘am dalam sebagian afradnya jika lafaz khas datang belakangan.
2)      Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya perbenturan karena lafaz khas menjelaskan lafaz ‘am.
B.     Takhsish (التخصيص)
1.      Pengertian Takhsish
Pengertian Takhsish adalah menjelaskan apa yang dimaksudkan dari ‘am atau me-nasakh-kan sebagian hukumnya, karena itu diharuskan mukhashshish setingkat dengan mukhashshash. Dalilnya kadang-kadang tidak berdiri sendiri, lafaznya dari nash yang umum, kadang-kadang pula dalilnya itu berdiri sendiri dan terpisah dari nash umum.[11]
Menurut al-Khudhari Beik dan Abdul Wahab yang dikutip oleh Amir syarifuddin bahwa inti dari Takhsish itu adalah penjelasan tentang hukum pada lafaz ‘am yang sejak semula memang ditentukan untuk sebagian afradnya saja. Secara singkat takhsish berarti penjelasan atau menjelaskan.
Akan tetapi menurut Qadhi al-Baidhawi dan Ibn Subki secara inti dari takhsish itu adalah bukan sebagai penjelasan sehingga tidak ada halangan jika datangnya terlambat dari lafaz ‘am.  Mengenai perbedaan antara takhsish dengan nasakh bahwa takhsish itu mengeluarkan sebagian afradnya sedangkan nasakh ada yang mengeluarkan sebagian dan ada yang mengeluarkan seluruh afradnya. [12]
Oleh karena itu hukum takhsish adalah boleh bila takhsish itu memang dilakukan denga dalil. Dalilnya ada yang berupa dalil naqli, dalil aqli dan yang lainnya. Tidak ada perbedaan tentang bolehnya takhsish dengan dalil.
2.      Dalil Takhsish
Hukum dalam bentuk ‘am diamalkan sesuai dengan keumumannya kecuali ada dalil yang menunjukkan takhsish, maka dalil itu disebut sebagai mukhassish atau sesuatu yang mentakhshishkan. Mukhashshish ada dua macam, yaitu dalam bentuk nash (teks) dan dalam bentuk buka nash.
Dalam hubungannya denga lafaz ‘am. Mukhassish itu ada yang terpisah dari lafaz ‘am ada pula yang menyatu. Adapun yang terpisah sebagai berikut:
a.       Takhsish dengan nash (al-Qur’an dan Sunnah)[13]
b.      Takhsish dengan akal pemikiran, baik melalui penyaksian maupun pemikiran. Contoh dalam bentuk penyaksian umpamanya dalam firman Allah QS. al-Ahqaf (46):25 yaitu:
تُدَمِّرُ كُلِّ شَيْءٍ
Ayat tersebut menjelaskan bahwa “angin menundukkan segala sesuatu”. Secara ‘am dalam ayat itu mengandung arti: apa saja akan ditundukkan oleh angin itu, namun dengan akal yang melalui penyaksian akan mengatakan ada yang tidak tunduk dengan kepada angin yaitu langit. Sedangkan contoh bentuk pemikiran seperti di dalam QS. al-Ra’du (13):16
اللّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
Dalam ayat itu secara ‘am dikatakan bahwa Allah pencipta segala sesuatu, namun akal dapat memahami bahwa Allah sendiri tidak termasuk dalam pengertia ‘am ayat itu karena Allah tidak diciptakan.
c.       Takhsish dengan adat. Maksudnya adat kebiasaan dapat mengeluarkan beberapa hal yang dimaksud dengan lafaz ‘am seperti QS. al-Baqarah (2):233 yaitu:
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. (
Artinya:
Para Ibu menyusukan anaknya selama dua tahun penuh
Ayat tersebut secara ‘am menghendaki setiap ibu menyusukan anaknya selama dua tahun penuh. Tetapi adat kebiasaan bangsa Arab yang tidak menyusui sendiri anaknya mentakhsishkan keumuman maksud ayat tersebut. Sedangkan Mukhassish yang menyatu dari lafaz ‘am pada bagian berikut ini. [14]
3.      Mukhassish Muttashil
Mukhassish Muttashil ini terbagi atas 5 macam sebagai berikut:
a.       Istithna (Pengecualian)
Istithna adalah mengeluarkan sesuatu dari pembicaraan yang sama dengan  menggunakan kata “kecuali” atau kata lain yang sama maksudnya denga itu. Seperti di dalam QS. al-Ashr (103):2-3 sebagai berikut:
¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ....
Artinya:
Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali yang beriman dan melakukan amal shalih....
Kata “al-Insan” (manusia) dalam ayat tersebut adalah ‘am karena ia adalah lafaz jama’ yang disertai alif-lam jinsiyyah. Secara ‘am ayat ini mengandung arti bahwa semua manusia akan merugi. Keumuman ayat ini ditakhsish oleh istitsna yang terdapat pada ayat sesudahnya yaitu kecuali orang yang beriman dan beramal shalih. Sehingga kata tersebut keluar dari keumuman kata al-Insan. [15]
b.      Syarat
Syarat ialah sesuatu yang lazim dengan tidak adanya, tidak ada yang diberi sifat (mausuf), tetapi tidak lazim dengan adanya mausuf. Contoh takhsish dengan syarat pada QS. an-Nisa (4): 101 sebagai berikut:
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ....
Artinya:
Bila kamu berada dalam perjalanan tidak ada halangannya kamu mengqashar shalat bila takut akan difitnah orang kafir....
Kebolehan mengqashar sholar secara ‘am asalkan dengan syarat dalam perjalanan. [16]
c.       Sifat
Sifat adalah sesuatu hal atau keadaan yang mengiringi dan menjelaskan sesuatu zat atau perbuatan. Contoh takhsish ‘am dengan sifat pada QS. an-Nisa (4):25 sebagai berikut:
... `ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷ƒr& `ÏiB ãNä3ÏG»uŠtGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# .....
“... maka boleh kamu mengawini hamba sahaya diantaramu yang mukminat.... 
Lafaz ãNä3ÏG»uŠtGsù merupakan sifat bagi lafaz M»oYÏB÷sßJø9$#  itu. Berarti kebolehan mengawini hamba sahaya itu dibatasi oleh hamba sahaya yang mukminat saja, yang tidak mukminat berarti keluar dari kandungan ayat tersebut.
d.      Limit waktu (ghayah)
Ghayah adalah limit waktu yang mendahului lafaz ‘am sehingga kalau ia tidak ada, maka akan terliput semua afrad ‘am (waktu). Seperti QS. at-Taubah (9):29 sebagai berikut:
(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム..... 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷Éfø9$# ....
Artinya:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman....., hingga mereka membayar jizyah...
Maksudnya adalah keumuman memerangi orang kafir ditakhsish kepada yang tidak bayar jizyah mempunyai limit waktu sampai dia membayar, ketika sudah membayar berarti tidak diperangi lagi.
e.       Bagian sebagai pengganti keseluruhan
Seperti di dalam QS. Ali Imran (3):97 sebagai berikut:
... 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y ....
Artinya:
“.....kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah haji ke baitullah bagi orang yang mampu berjalan kesana...
Lafaz من  adalah pengganti (badal) dari lafaz الناس  (manusia) yang telah disebutkan sebelumnya. Keumumanya pada kewajiban semua manusia untuk naik haji tapi ditakhsish kepada orang yang mampu saja, berarti yang tidak mampu tidak diwajibkan. [17]
C.     Macam-macam Takhsish [18]
Macam-macamnya terbagai atas 7 bagian sebagai berikut:
1.      Takhsish al-Qur’an dengan al-Qur’an
Jumhur Ulama sepakat atas dibolehkannya mentakhsish al-Qur’an dengan al-Qur’an. Karena melihat banyaknya lafaz ‘am yang ditakhsish oleh al-Qur’an itu sendiri seperti QS. al-baqarah (2):228 ditakhsish oleh QS. al-Baqarah (2):234 sebagai berikut:
 Pada QS. al-baqarah (2):228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% ...
Artinya:
Perempuan-perempuan yang bercerai dari suami untuk beriddah sampai 3 quru’
Ayat ini berlaku umum untuk semua perempuan tanpa melihat keadaan perempuan saat bercerai, maka pengertian ‘am nya ditakhsish oleh QS. al-Baqarah (2):234:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ...
Artinya:
Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri hendaknya mereka menunggu selama 4 bulan sepuluh hari...
Ayat ini terkhusus pada perempuan yang cerai karena kematian dan beriddah selama 4 bulan 10 hari, maka hukum am’ yang mengaharuskan beriddah selama 3 quru’[19] tidak laki berlaku bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. [20]
2.      Takhsish al-Qur’an dengan Sunnah
Untuk sunnah yang mutawatir jumhur ulama sepakat al-Qur’an ditakhsish dengan sunnah akan tetapi jika kualitasnya ahad maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini sebagai berikut:
a.       Imam mazhab yang 4 sepakat
b.      Segolongan ulama kalam menolak secara mutlak
c.       Isa ibnu Abban (kalangan Hanafi) boleh hanya pada dalil ‘am itupun sudah ditakhsish dengan dalil yang qath’i
d.      Al-Harakhi (Hanafi) boleh hanya ketika dalil sudah ditakhsish dengan dalil yang terpisah.
e.       Qadhi Abu Bakar memilih sikap tawaqquf.
Adapun contoh yang ditakhsish khabar ahad pada QS. an-Nisa (4):11:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# ....
Artinya:
Allah telah mewasiatkan untukmu tentang anak-anakmu bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan
Kemudian ditakhsish oleh hadith Nabi dari Umar yang dikeluarkan Malik dalam kitab al-Muwatta:
القَاتِل لَا يَرِثُ.
Artinya:
Pembunuh tidak mendapat hak waris”.[21]
3.      Takhsish Sunnah dengan al-Qur’an
Sama halnya dengan poin 2. Pada bagian ini juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama sebagai berikut:
a.       Kebanyakan ulama fiqh dan kalam juga pengikut Syafi’i dan Hanbali membolehkan. Dengan alasan banyak terjadi keumuman pada Sunnah nabi seperti :
البِكْرُ بِاالبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ.  
Artinya:
perawan yang berzina dengan bujangan hukumannya adalah dipukul 100 kali dan dibuang setahun”.
Pengertian ‘am hadith ini ditakhsish oleh QS. an-Nisa (4):25: yang menjelaskan sangsi untuk hamba sahaya hanya separuh yang dikenakan dari orang yang merdeka.
b.      Ulama yang menolak menggap bahwa yang asal itu bukan sunnah tapi al-Qur’an dan memang juga Nabi diperintahkan untuk sebagai penjelas bagi al-Qur’an bukan sebaliknya. [22]
4.      Takhsish Sunnah dengan Sunnah
Pada bagian ini pun sama ada yang pro dan ada yang kontra, tapi kebanyakan ulama yang sepakat sebagai berikut:
a.       Jumhur ulama yang sepakat bahwa boleh takhsish Sunnah dengan Sunnah baik itu qauliyah, fi’liyah maupun takririyah seperti hadith Nabi dari Sa’ad bin Abdullah menurut riwayat Bukhari:
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُوَالعُيُوْنُ اَوْكَانَ عُثْرِيَّا العُشْرُ.
Artinya:
Tanaman yang diairi oleh hujan, mata air dan sungai, zakatnya sepersepuluh”.
Hadith ini secara ‘am menjelaskan mengeluarkan zakat sudah mencapai nasab atau belum. Kemudian ditakhsish oleh Hadith Nabi dari Sa’id (muttafaq ‘alaih):
 لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةٍ أَوْسَقٍ مِنْ ثَمَرٍ وَلَا حَبَّ صَدَقَةً.
Artinya:
Buah-buahan dan biji-bijian yang kurang dari lima wasaq tidak diwajibkan zakat”.
Adanya hadith tersebut menjelaskan terkenanya zakat ketika sudah melebihi 5 wasaq, artinya mencapai hitungan (nasab) itu.
b.      Ulama yang tidak sepakat seperti sebelumnya bahwa Nabi hanya menjadi penjelas bagi al-Qur’an bukan sesama sunnah itu. [23]
5.      Takhsish dengan Ijma’[24]
Maksudnya adalah mengetahui maksud sesuatu dengan lafaz ‘am melalui ijma’ ulama yang menjelaskan bahwa maksud dari apa yang dikehendaki lafaz ‘am tersebut. Menurut Al-Hamidi yang dikutip oleh Amir Syarifuddin bahwa tidak ditemukan perbedaan pendapat dari bolehnya mentakhsish al-Qur’an dan Sunnah dengan Ijma’ karena mempunyai kekuatan dalam menunjukkan dilalah terhadap hukum.
Sebagai contoh QS. al-Jumu’ah (62): 9 :
#sŒÎ).... šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (....
Artinya:
jika diseru untuk melakukan shalat di hari jum’at maka segeralah pergi sholat (mengingat Allah)...
Secara umum mewajibkan semua orang beriman untuk sholat jum’at baik laki-laki maupun  perempuan maka ijma’ ulama yang menyandarkan kepada nabi bahwa perempuan tidak wajib melaksanakan sholat jum’at. [25]
6.      Takhsish dengan Qiyas[26]
Maksudnya adalah suatu kejadian yang tidak ada hukumnya lalu diqiyaskan kepada hukum yang terdapat dalam al-Qur’an atau Hadith berdasarkan adanya illat yang sama.[27] Kemudia hukum yang ditemukan oleh mujtahid digunakan untuk membatasi hukum umum yang ada di dalam al-Qur’an dan Hadith itu. Seperti QS. an-Nur (24):2:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ....
Artinya:
Pezina perempuan dan pezina laki-laki pukullah masing-masing seratus kali pukulan”.
Secara umum ayat ini menetapkan kewajiban hukuman untuk orang merdeka maupun hamba sahaya. Dalil khusush yang menyangkut zina ini hanya tentang hamba sahaya perempuan di dalam QS.an-Nisa (4):25 :
... £`ÍköŽn=yèsù ß#óÁÏR $tB n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# šÆÏB É>#xyèø9$# ....
Artinya:
“.....Atas hamba sahaya perempuan dikenakan hukuman separuh dari yang dibebankan kepada perempuan yang merdeka.....”.
Dalam ayat di atas yang hanya disebutkan hamba sahaya perempuan yang mendapatkan hukuman separuh akan tetapi pada QS. an-Nur (24):2 laki-laki hamba sahaya belum disebutkan seperti di QS.an-Nisa (4):25. Oleh karena itu diqiyaskan menjadi sama dengan hukuman hamba sahaya perempuan pezina. [28]
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya takhsish dengan Qiyas sebagai berikut:
a.       Ulama Zuhairi menolah secara mutlak.[29]
b.      Imam Mazhab yang 4, al-Asy’ari dan segolongan ulama mu’tazilah[30] membolehkan qiyas sebagai Mukhassish secara mutlak dalam bentuk apapun.[31]
c.       Segolongan ulama menempuh jalan tengah.
d.      Imam Haramain dan Qadhi Abu Bakar memilih tawaquf.
7.      Takhsish dengan Mafhum
Artinya suatu lafaz yang bisa dipahami dari mafhum muwafaqah[32] dengan mafhum mukhalafah[33] yang berasal dari Mantuq[34], sehingga dapat mentakhsish keumuman al-Qur’an dan Sunnah sebagai dalil.
Para ulama juga berbeda pendapat dalam hal ini, Jumhur Ulama mebolehkan sedangkan sebagian ulama yang tidak membolehkan karena beralasan bahwa yang mantuq itulah yang harus didahulukan. Adapun contoh takhsish dengan mafhum muwafaqah pada hadith Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya:
لِلْوَاجِدِ يَحِلُّ عِرْضُهُ وَعُقُوْبَتُهُ.
Artinya:
Orang yang enggan bayar hutang sedangkan ia mempunyai harta untuk membayarnya, boleh dibentak dan disiksa.
Jadi baik orang tua sendiri ataupun orang lain secara keumuman boleh disiksa maka ditakhsish oleh mafhum muwafaqah pada QS. al-Isra’ (17): 23
... Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? ....  
Artinya:
janganlah kamu berkata kasar kepada ibu bapakmu dan jangan memukulnya
Dengan keumuman hadith diatas ditakhsish dengan mafhum muwafaqah yaitu terbatas pada orang lain bukan kepada orang tua sendiri.
Begitupun pada takhsish dengan mafhum mukahalafah pada hadith Nabi menurut riwayat Ibnu Majah:
المَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أِالَّا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ.
Artinya:
Air itu tidak akan dikenai najis kecuali bila telah berubah baunya, rasanya dan warnanya.
Keumumannya air dalam ukuran apapun tidak akan mengandung najis selama tidak berubah baunya, rasanya dan warnanya. Ini ditakhsish oleh mafhum mukahalafah pada hadith Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah juga:
اذَا بَلَغَ المَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الخَبَثَ
Artinya:
Bila sampai air itu dalam ukuran dua Qullah ia tidak akan mengandung najis
mafhum mukahalafah dari hadith tersebut adalah Bila air tidak sampai ukuran dua qullah maka air itu bernajis. Jadi dia membatasi hadith pertama di atas pada ukuran dibawah dua qullah itu.

D.    Beberapa Masalah Takhsish
1.      Menyebutkan sebagian Afrad lafaz Umum
Penyebutan sebagian afrad (khushush) dari lafaz ‘am itu hukumnya ada yang sama dengan hukum yang terdapat dalam lafaz ‘am, ada pula lafaz khushush yang berbeda dari lafaz ‘am itu sendiri.
a.       Bila ada lafaz khushush (salah satu afrad dari lafaz ‘am) yang disebutkan hukumnya itu berbeda dengan lafaz ‘am maka lafaz Khushush itu mentakhshish lafaz ‘am. Inilah yang pernah diuraikan sebelumnya. [35]
b.      Bila lafaz khushush yang merupakan salah satu afrad dari lafaz ‘am itu hukumnya bersamaan dengan hukum yang ditetapkan dalam lafaz ‘am, maka dalil khushush tidak mentakhshish dalil ‘am. Dengan demikian terdapat dua bentuk dalam hal ini. Yaitu lafaz khushush yang tidak bertindak sebagai sebagai mukhashsish. Dan lafaz khushush yang disamping menjelaskan hukum untuk dirinya juga membatasi penggunaan lafaz ‘am (bertindak sebagai mukhashsish).
Contohnya: QS. al-Baqarah (2):267:
(#qà)ÏÿRr&.... `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$#
 Artinya:
“....Nafkahkanlah apa-apa yang baik dari hasil usahamu dan apa-apa yang kami keluarkan untukmu dari dalam bumi...
Dari pengertian ‘am ayat ini dipahami bahwa semua hasil usaha dan hasil bumi wajib dizakati, kemudian secara khsusush nabi mengatur zakat hewan ternak, tumbuh-tumbuhan, emas dan perak, barang tambang dll. Masing-masing punya aturan tersendiri yang mengatur dirinya secara khsusush tanpa mentakhsish lafaz ‘am pada ayat tersebut. Contoh pada zakat kambing yang telah disebutkan pada halaman 5. Zakat dari 40 ekor kambing ini tidak mentakhsish hukum pada ayat tersebut artinya tidak berarti selain kambing tidak wajib untuk dikeluarkan zakatnya. [36]
Jadi secara jelas bahwa kegunaan dalil khushush, disamping dapat menjadi bagian dalil ‘am juga menjelaskan tidak bolehnya mentakhshish terhadap dalil ‘am itu sendiri.
2.      Menyambungkan Lafaz Khusus kepada Lafaz Umum
Dalam al-Qur’an terdapat banyak lafaz khushush yang disambungkan dengan lafaz ‘am. Seperti sabda Nabi:
لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ وَلَاذُوْ عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ.
Artinya:
Orang muslim tidak dibunuh karena membunuh orang kafir dan tidak karena membunuh kafir yang berada dalam perjanjian pada masa janjinya”.
Secara umum bahwa tidak dikenai hukum qishash bila membunh orang kafir dalam status apapun. Tapi kalimat yang disambungkan bersifat khshush yaitu membunuh orang kafir yang telah mengikat perjanjian dengan muslim. Dengan ini ulama menjadikan perbincangan sebagai berikut:
a.       Jumhur ulama berpendapat bahwa dalil khushush yang disambungkan itu tidak berpengaruh dengan dalil ‘am, artinya tidak ada takhshish dalam kasus ini.
b.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ada takhsish dalam hadith itu, sehingga muslim yang membunuh kafir harbi (suasana perang) tidak diqishash tapi yang kafir dzimmi (suasana perjanjian) dikenai qishash sebagaimana membunuh muslim.
3.      Kembalinya Dhamir (Kata ganti Orang) kepada Sebagian Afrad
Lafaz ‘am  itu ada dhamir yang kembali untuk menjelaskan bahwa hanya sebagian afrad dari lafaz ‘am itu. Seperti QS. al-Baqarah (2): 228 yang telah disebutkan pada halaman 10. Dalam ayat tersebut juga menunjukkan keharusan beriddah karena cerai, apakah talak 1,2 dan 3 sehingga datang firman Allah pada redaksi berikutnya:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 ..... 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) ...
Artinya:
Suami mereka lebih berhak merujuk mereka bila keduanya menginginkan kebaikan”.
Dari ayat ini menjelaskan kebolehan suami merujuk istrinya karena talak1dan 2. Sedangkan dhamirnya adalah “`d” (semua perempuan yang diceraikan ).

Apakah kembalinya dhamir kepada afradam itu adalah takhshish atau bukan ? inilah muncul perbedaan dikalangan ulama sebagai berikut:
a.       Jumhur ulama berpendapat bahwa kembalinya dhamir yang diketahui kekhushushannya pada lafaz ‘am menjadikan dalil ‘am itu tidak digunakan untuk seluruh afradnya.
b.      Menurut al-Hamidi yang dipilih oleh amir syarifuddin bahwa tidak bisa mentakhsish dalil ‘am karena adanya dalil yang mengiringnya setelahnya sampai ada dalil lain yang mentakhsishnya.
4.      Afrad Umum yang Harus Tersisa sesudah Ditakhsish
Para ulama sepakat bahwa sesudah melakukan takhsish harus ada afrad yang tersisa, karena kalau habis itu namanya nasakh bukan takhsish. Dan ini menimbulkan perbedaan dikalangan mereka sebagai berikut:
a.       Imam Ahmad dan pengikutnya imam malik, sebagian ulama syafi’iyyah dan hanafiyyah berpendapat bahwa boleh mentakhshish sampai hanya menyisakan satu.
b.      Abu Hasan al-Basri, imam haramain dan kebanyakan ulama syafi’iyyah mengatakan bahwa yang tersisa adalah dua atau lebih.[37]
c.       Al-Qaffal, Ibnu Sabbag dan Abu Ishak Asfaraini berpendapat bahwa bila lafaz ‘am itu jama’ yang tertinggal adalah minimal darinya. Dan bila mufrad maka tersisa hanya satu.
d.      Al-Zarkasyi berpendapat bahwa takhsish dilakukan dengan istitsna dan badal maka yang tersisa adalah satu dan bila ditakhsish dengan cara lain maka tersisa hanya satu.[38]
5.      Lafaz Umum Sesudah Ditakhsish
a.       Kedudukan lafaz Umum yang Telah Ditakhshish
Para ulama juga berbeda dalam kasus ini, segolongan ulama berpendapat bahwa penggunaan lafaz ‘am terhadap afradnya yang tersisa adalah secara hakiki dan mutlak. Segolongannya lagi berpendapat bahwa afradnya yang tersisa adalah majazi. Dan ulama lainnya memilah-milah sesuai dengan masalahnya dan tidak memutlakkannya.
b.      Kebolehan Berhujjah dengan Lafaz Umum Setelah Ditakhshish
Para ulama juga berbeda pendapat dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa tetap mempunyai kehujjahan secara mutlak dengan cara apapun ditakhshishnya. Segolongan ulama diantaranya Isa Ibnu Abban dan Abu Tsaur menolak secara mutlak. Sebagiannya lagi memilah-milah sesuai dengan dasar berlakunya takhshishan. [39]
E.     Mutlaq dan Muqayyad [40]
1.      Pengertian Mutlaq Beserta Contohnya
Menurut Amir syarifuddin bahwa mutlaq secara garis besar adalah lafaz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Perbedaan yang mendasar antara lafaz ‘am dengan mutlaq ialah lafaz ‘am itu meliputi keseluruhan yang berlaku pada satuan-satuan sedangkan lafaz mutlaq itu bersifat pengganti untuk menggambarkan satuan yang meliputi. Contoh QS. al-Mujadalah (58):3:
... ㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ
Artinya:
Maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya bergaul
Lafaz “raqabah” yang berarti hamba sahaya adalah mutlaq, disamping mencakup afradnya yang banyak juga tidak dibatasi untuk afrad manapun. Disni menunjukkan kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah sebab lafaz “raqabah” tidak ditentukan dengan ciri-ciri apapun, jadi hanya menuntut untuk memerdekakan hamba sahaya apapun.
2.      Pengertian Muqayyad Beserta Contohnya
Menurut beliau juga adalah lafaz yang menunjukkan hakikat sesuatu untuk diikatkan kepada lafaz yang mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu. Contoh pada QS. an-Nisa (4): 92:
.... 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ....
Artinya:
“....Barangsiapa yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah memerdekakan hamba sahaya yang beriman...
Pada lafaz “hamba sahaya yang beriman”itu menandakan bahwa lafaz yang qayid dalam bentuk sifat.
3.      Bentuk Hubungan antara mutlaq dengan muqayyad sebagai berikut:
a.       Sasaran dari dua nash hukum itu adalah satu
b.      Penyebab timbulnya hukum yang beda tapi mempunyai kesamaan hukum
c.       Penyebab timbulnya hukum yang sama tapi mempunyai perbedaan hukum
d.      Penyebab timbulnya hukum yang beda tapi mempunyai perbedaan hukum juga
e.       Terkadang keduanya ada yang bebentuk membenarkan dan lainnya membantah
f.       Jika keduanya pada posisi melarang maka lafaz mutlaq diberi qayid dengan sifat yang ada dalam muqayyad.
g.      Bentuk lain adalah lafaz muqayyad berada pada dua tenpat yang berbeda, dan ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagai berikut:
1)      Menurut ulama Syafi’iyyah bahwa lafaz mutlaq harus ditangguhkan kepada salah satu di antara kedua muqayyad di tempat yang berbeda itu.
2)      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafaz mutlaq tidak dapat ditangguhkan kepada lafaz muqayyad dalam keadaan tersebut karena lafaz muqayyadnya berbeda hukumnya. [41]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun yang dapat disimpulakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Khushush merupakan lawan dari pengertian ‘am (umum). Khash adalah lafaz yang diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan yang tertentu. Baik menunjuk pribadi seseorang  seperti si Abdullah, menunjuk kelompok seperti laki-laki, atau sesuatu yang tidak terbatas seperti kaum
2.      Pengertian Takhsish adalah menjelaskan apa yang dimaksudkan dari ‘am atau me-nasakh-kan sebagian hukumnya, karena itu diharuskan mukhashshish setingkat dengan mukhashshash. Dalilnya kadang-kadang tidak berdiri sendiri, lafaznya dari nash yang umum, kadang-kadang pula dalilnya itu berdiri sendiri dan terpisah dari nash umum
3.      Macam-macamnya terbagai atas 7 bagian: Takhsish al-Qur’an dengan al-Qur’an, Takhsish al-Qur’an dengan Sunnah, Takhsish Sunnah dengan al-Qur’an, Takhsish Sunnah dengan Sunnah, Takhsish dengan Ijma’, Takhsish dengan Qiyas, Takhsish dengan Mafhum.
4.      Permasalahan dalam takhshish ada 5 yaitu: Menyebutkan sebagian Afrad lafaz Umum, Menyambungkan Lafaz Khusus kepada Lafaz Umum, Kembalinya Dhamir (Kata ganti Orang) kepada Sebagian Afrad, Afrad Umum yang Harus Tersisa sesudah Ditakhsish, dan Lafaz Umum Sesudah Ditakhsish.
5.      Mutlaq secara garis besar adalah lafaz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya sedangkan muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan hakikat sesuatu untuk diikatkan kepada lafaz yang mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu
B.     Saran
Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat menambah kehasanan keilmuan di bidang Ushul Fiqh dan menjadi patokan dalam menggali sumber hukum Islam sehingga kedepannya kita tidak hanya bertaklid buta tapi sudah bisa membedakan antara hukum yang benar dengan hukum yang palsu. Oleh karena itu, demi kesempurnaan dalam makalah ini diharapkan masukan dan sarannya untuk perbaikan ke depannya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam: Permaslahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.
Djazuli, H. A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Efendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Jumantoro, Tototk dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah,  2005.
Rahman, Abdur, Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.
Rohayana, Ade Dedi, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.
Roibin, Penetapan Hukum Islam: dalam Lintasan Sejara, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Zuhri, Saifuddin, Ushul Fiqih: Akal sebagai Sumber Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011.







[1] Tototk Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,  2005), h. 166
[2] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001),  h. 83. Lihat juga Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 191.
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 187.
[4] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 84-85.
[5] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, h. 192. Lihat juga Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 205.
[6] Ini berkenaan mena’wilkan makna dalam al-Qur’an itu sendiri. Lihat  Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqih: Akal sebagai Sumber Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2011),  h. 46
[7] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 189.
[8] Kaitannya antara kalimat berita dengan kalimat perintah yang terkandung dalam ayat itu. Lihat Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010),  h. 247.
[9] Seperti yang akan dibahas secara berbeda pada bagian tertentu.
[10] Sebagai pertimbangan karena fuqaha mazhab Hanafi adalah pelopor pertama dalam pembuatan Qawaid fiqhiyyah serta sebagai pengkodifikasi pertama dalam sejarah hukum Islam. Lihat  Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 245.
[11] Tototk Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, h. 318.
[12] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 86-87.
[13] Akan dibahas tersendiri.
[14] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 87.
[15] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 88.
[16] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 91.
[17] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 92-91.
[18] Ini merupakan pembahasan tersendiri dari takhsish dari segi dalil khasnya yang terpisah dari dalil ‘am.
[19] Pengertian dari quru’ (bahasa arab) adalah  bisa berarti bersih atau haid, diamana para ulama juga berbeda pendapat. Lihat Roibin, Penetapan Hukum Islam: dalam Lintasan Sejara, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),  h. 45.
[20] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 94.
[21] Khabar ahad menjadi mukhassish hanya sebagai dalil dalam beramal bagi ulama yang membolehkan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Sedangkan ulama yang tidak sepakat menurut Amir Syarifuddin adalah mereka yang menganggap bahwa kedudukan al-Qur’an lebih kuat dari pada Sunnah.
[22] Sesuai dengan QS. an-Nahl (16): 44. Yang seharusnya menjadi bayan adalah sunnah bukan al-Qur’an
[23] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 99.
[24] Ijma’ menurut prof  Abdur Rahman bahwa kesepakatan pendapat para ulama dan fuqaha dibidang hukum setelah wafatnya Nabi saw. lihat Abdur Rahman, Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 98.
[25] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 100.
[26] Qiyas merupakan suatu cara untuk mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan oleh nash sehingga membuat persamaan hukum. Lihat  Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permaslahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h.82.
[27] Lihat juga H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) , h. 77
[28] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 101-102.
[29] Memang dasarnya mereka menolak baik untuk menetapkan hukum apalagi mentakhsish keumuman hukum itu. Adapun alasannya secara garis besar yaitu: yang ‘am itu lebih kuat hujjahnya dibanding dengan qiyas serta ia merupakan furu’ aja.
[30] Seperti Abu Hasim dan Abu Hasan al-Basri.
[31] Secara garis besar ulama yang membolehkan karena  qiyas itu punya dalil yang pasti untuk diterapkannya, juga ia menjelaskan sighat yang ‘am untuk jadi sasaran takhsish, serta Qiyas mempunyai kekuatan untuk dijadikan hujjjah. Lihat Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 104.
[32] Artinya bila hukumnya sama dengan yang tersurat.
[33] Artinya bila hukum yang tersirat kebalikan dari hukum yang tersurat.
[34] Artinya hukum yang dipahami secara tersurat atau nampak.
[35] Berkenaan dengan contoh wanita yang menjalani masa iddah: 3 kali quru’ menjadi khusus sampai melahirkan bagi yang hamil.
[36] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h.107-108.
[37] Menyisakan jama’ dengan alasan secara garis besar yaitu: mengeluarkan  afrad dari 3 berarti mengurangi kehakikiannya dan ditinjau dari kebahasaan yang tidak sesuai jama tapi dimaksud mufrad.
[38] Menyisakan satu dengan alasan secara garis besar yaitu: lafaz al-Qur’an menggunakan jama’ tapi maksudnya adalah mufrad dan boleh ditakhsish sampai tiga atau kurang darinya.
[39] Diantara ulama itu: al-Balkhi, Abu Abdullah, dan Qadhi Abdul Jabbar. Lihat Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 114.
[40] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 116-118.
[41] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 119-125.