Apa Aja

Apa Aja

Senin, 07 Maret 2016

KRITIK ATAS PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL

Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, Karya Fahmi Salim By: Abustan A. Pendahuluan Dalam melihat fenomena hidup ini, terlalu banyak hal yang membingungkan mulai dari keadaan negara yang semakin hari semakin terpuruk sampai pada perkembangan pemikiran yang sangat deras dan menimbulkan berbagai konflik terutama dalam cakupan perkembangan penafsiran al-Qur’an. Para pemikir barat telah berusaha untuk memberikan suatu pemikiran baru dalam dunia Islam melalui segala metodologi mereka, yang menyebabkan timbul berbagai isu-isu pemikiran yang arahnya ke pemikiran bebas tentang tafsiran dari kitab suci kita sendiri. Bahkan ada diantara kalangan dari umat Islam sendiri yang berusaha meniru dan mengadopsi sistem yang ada di barat sehingga melahirkanlah arah pemikiran liberalism, secularism dan lain-lain. Dengan begitu perlu adanya benteng dari umat Islam sendiri untuk sama-sama mengkritisi pemikiran mereka melalui suatu kajian-kajian mendalam serta menciptakan suatu karya yang bisa menghalau pemikiran yang muncul itu. Melalui buku yang dibuat oleh Fahmi Salim inilah merupakan salah satu cara mengkritisi pemikiran mereka, apakah pemikiran mereka patut untuk ditiru atau memang harus diselidiki dahulu kemudian memberikan komentar tentang itu. Sehingga pemakalah dalam hal ini mencoba untuk membahas buku beliau yang merupakan karya fenomenal anak bangsa yang menempuh pendidikan Universitas Al-Azhar Kairo selama 5 tahun, bahkan dijadikan pertukaran antar universitas dan dicetak dalam sebuah buku. Adapun Ruang Lingkup dalam makalah ini yaitu: Asal-usul Pemikiran Liberal dalam Islam dan Reaksi terhadap pemikiran Liberal, Kajian Kritis Antara Takwil dengan Hermeneutika, Sejarah munculnya Hermeneutika untuk al-Qur’an, Isu-isu Hermeneutika al-Qur’an, Kritik Atas Metode Riset Ilmu-ilmu Humaniora Barat-Sekuler untuk “membaca” al-Qur’an, Hermeneutika dalam Penafsiran Teks-Konsep dari Teori-Aplikasi dalam Pandangan Penulis. Tujuan dalam makalah ini yaitu: untuk mengetahui arah pemikiran liberal dalam konteks penafsiran al-Qur’an dengan memakai Metode Hermeneutika. Manfaat dalam makalah ini yaitu: agar supaya menjadi rujukan bagi siapa saja dan untuk memenuhi tugas dari dosen pengampu. B. Asal-usul Pemikiran Liberal dalam Islam dan Reaksi terhadap pemikiran Liberal Dilihat dari asal-usulnya, istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad 18 M, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, baik merdeka semenjak lahir ataupun merdeka sesudah dibebaskan dari yang semula berstatus ‘budak’. Para sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis 1789 kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas apapun namanya adalah bertentangan dengan hak azasi, kebebasan dan harga diri manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Perancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Dalam catatan Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang kebablasan tersebut pada akhirnya menganjarkan tiga hal: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thingking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama. Menurut Adian Husaini, munculnya liberalisme yang seperti itu di Barat tidak terkepas dari tiga faktor.Pertama, trauma sejarah, khususnya yang behubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut ‘zaman kegelapan’ (the medieval ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ‘zaman pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Kedua, problem teks Bible. Masyarakat Krsiten Barat menghadapi problem otentisitas teks dengan kitabnya. Perjanjian Lama (Hebrew Bible) sampai saat ini tidak diketahui siapa penulisnya. Padahal tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan bahwa Moses penulisnya. Sementara itu di dalam teksnya terdapat banyak kontradiksi. Demikian halnya dengan Perjanjian Baru (The New Testament). Ada dua problem terkait dengan keberadaannya, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yng orginal saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak kurang dari sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek (Yunani), yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ketiga, problem teologi Kristen. Sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakkan adalah, Tuhan menjadi sesuatu yang problem. Menjelaskan bahwa Tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendekiawan seperti Dr. C. Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Ia lalu sampai pada kesimpulan bahwa Yesus memang misterius. Dari latar belakang seperti itu maka tidak heran jika kemudian masyarakat Barat cenderung beragama tanpa berkeyakinan. Dalam artian, mereka beragama Kristen tapi mereka kemudian tidak sepenuhnya meyakini doktrin-doktrin Kristen. Mereka meragukan eksistensi Tuhan yang bisa mengetahui segala sesuatu, doktrin Trinitas, dan Bible sebagai wahyu Tuhan. Akibatnya mereka menerima secara mutlak pemisahan Gereja dan Negara, dan mempercayai penuh doktrin kebebasan dan toleransi agama. Kebebasan yang juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama dan toleransi yang sampai meyakini kebenaran agama lain atau pluralisme agama. Dari penjelasan di atas, tanpa mengerutkan dahi pun, kita semua tentu paham bahwa Liberal adalah ideologi yang lahir dari rahim Barat-Kristen. Ia bukan berasal dari Islam, dan sudah tentu akan bertentangan dengan Islam. Pandangan bahwa manusia memiliki hak azasi yang bebas dari setiap otoritas sangat bertentangan dengan Islam yang mengajarkan manusia untuk memegang teguh norma-norma Ilahi yang telah dijelaskan-Nya lewat Al-Qur’an dan Sunnah, berdasarkan panduan para ulama terpercaya. Dari sejak awal sampai sekarang bisa dipastikan tidak seorang muslim pun kecuali yang Liberal yang merasa bahkan meyakini bahwa dirinya terkekang oleh Allah, para Nabi, atau oleh para ulama. Yang ada justru sebaliknya, mereka sangat merindukan panduan dari para ulama tentang ajaran Allah dan Rasul-nya yang tersaji dalam Al-Qur’an dan Sunnah. C. Kajian Kritis Antara Takwil dengan Hermeneutika Pada bahasan ini akan dibahas mengenai perbedaan antara takwil dengan hermeneutika dengan berbagai pendapat serta kaitannya dengan al-Qur’an. 1. Definisi Takwil Secara bahasa Takwil berasal bahasa arab yang berarti “kembali” dan “menjadi” karena akar kata dari awl dan dalam perkataan arab yaitu awwaltuhu berarti mengembalikannya. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa takwil diambil dari kata al-Iyalah atau al-Iyal yang berarti siasat sehingga fahmi salim mengatakan bahwa “seorang pemimpin menyiasati rakyanya.” Maksudnya adalah menyiasati dan memperbaiki pengabdian kepada rakyatnya. Apabila tafsir secara bahasa adalah “penjelasan” atas sesuatu baik karena maknanya jelas atau pun yang lain maka makna tafsir dengan takwil terhubung dari segi dua hal yang umum dan khusus dari salah satu arah begitupun dengan makna yang lain yaitu menyiasati adalah hubungan umum dengan khusus secara mutlak. menurut Abdul Mustaqim yang menukil pendapat Az-zarqani bahwa tafsir secara bahasa adalah bisa berarti al-Kasyf (menyingkap makna tersembunyi), al-Idhah (menerangkan), dan al-Ibanah (menjelaskan). Adapun takwil secara istilah menurut mayoritas ulama ushul fiqh adalah lafadz adakalanya berupa nash, zhahir, muawwal, musytarak atau mujmal karena nash dan zhahir merupakan sama-sama makna kuat, muawwal adalah makna tidak kuat bahkan lemah, musytarak adalah bermakna ambigu dan mujmal adalah bermakna umum. Sedangkan takwil secara istilah menurut Ulama al-Qur’an bahwa takwil itu tidak jauh beda dengan tafsir karena merupakan cara untuk mengetahui makna atau menguatkan yang tersirat di dalam al-Qur’an. Takwil lebih dikaitkan kepada lafazh yang global (mujmal) sedang tafsir mengarah pada lafazh-lafazh yang langka atau ringkas sehingga butuh penjelasan. Karena itulah perlu memberitahukan ragam tafsir menurut pakar sebagai berikut. Pertama, tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an,. Kedua, tafsir al-Qur’an dengan sunnah yang shahih atau hasan. Ketiga, berusaha mencari ke perkataan para sahabat yang tergolong hadis marfu’ (dinisbahkan kepada Rasulullah saw). Keempat, pendapat sahabat yang menjadi kesepakatan para ulama. Semuanya inilah harus menjadi pegangan para penafsir. 2. Definisi Hermeneutika Adapun definisi hermeneutika secara bahasa yaitu; Di dalam bukunya Richard E. Palmer juga disebutkan bahwa hermeneuein berasal dari kata Yunani “hermeios” berpatokan kepada seorang pendeta yang bijak, Delphic. Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia dianalogikan pada Dewa Hermes. Dewa Hermes yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan pesan (wahyu) dari Jupiter kepada Manusia. Dewa Hermes bertugas untuk menerjemahkan pesan Tuhan dari gunung Olympuske dalam bahasa yang bisa dipahami oleh manusia. Oleh karena itu hermeneutika dikhusukan kepada proses mengubah sesuatu atau situasi yang tidak bisa dipahami sehingga kita dapat memahaminya. Sejak itu, hermens merupakan simbol seorang duta yang diembankan dengan misi khusus. Berhasil tidaknya misi tersebut sangat tergantung pada bagaiman cara hermes menyampaikannya ke dalam bahasa yang bisa dipahami oleh manusia. sehingga Hermeneutika dapat diterjemahkan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan bisa dimengerti. Dalam segi istilah bahwa hermeneutika banyak didefinisikan oleh para ahli. Mereka memiliki definisinya masing-masing. FD. Ernest Schleirmacher mendefinisikan hermeneutika sebagai seni memahami dan menguasai, kemudian yang diharapkan adalah bahwa pembaca lebih memahami diri pengarang dari pada pengarangnya sendiri dan juga lebih memahami karyanya dari pada pengarang. Adapun Fredrich August Wolf mendefinisikan, hermeneutika adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang membantu untuk memahami makna tanda-tanda. Sedangkan menurut Martin Heidegger dan Hans George Gadamer bahwa hermeneutika adalah proses yang bertujuan untuk menjelaskan hakikat dari pemahaman. D. Sejarah munculnya Hermeneutika untuk al-Qur’an Adapun Istilah hermeneutika sebagai ilmu tafsir pertama kali diperkenalkan oleh seorang teolog jerman bernama Johann Konrad Dannhauer (1603 – 1666) pada sekitar abad ke 17 dengan dua pengertian yaitu bermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Lalu Carl Braathen mengakomodasi kedua pengertian tersebut menjadi satu dan menyatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yag merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara nyata di masa sekarang sekaligus mengandung aturan aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman Awalnya hermeneutika berkembang dikalanagan gereja dan dikenalkan sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks teks agama) dan kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial. Dalam buku Hermeneutika Gadamerian dikemukakan bahwa Schleiermacher dianggap sebagai “bapak hermeneutika” karena membangkitkan kembali hermeneutika dan membakukannya sebgai metode interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab suci, tetapi juga seni, sastra dan sejarah. Selanjutnya hermeneutika dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Wilhem Dilthey yang menggagas hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu ilmu kemanusiaan, lalu Gadamer yang mengembankannya menjadi metode filsafat yang diteruskan oleh filosof-filosof kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas dan Jacques Derrida. Walaupun hermeneutika bisa dipakain sebagai alat untuk menafsirkan berbagai kajian keilmuan, melihat sejarah kelahiran dan perkembangannya harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks sebagaimana dikemukakan Trigg. “The paradigm for hermeneutics is the interpretation of a traditional text, where the problem must always be how we can come to understand in our own context something which was written in a radically different situation.” Dalam Bukunya Inyiak Ridwan Muzir dikatakan bahwa Hermeneutika pertama kali diperkenalkan ke dalam kebudayaan Barat (Eropa) dalam bentuk kata latin Hermeneutica oleh seorang teolog dari Strasbourg bernama Johann Dannhauer. Johann memakainya dalam pengertian disiplin yang diperlukan setiap ilmu yang mendasarkan keabsahannya pada teks. Pengertian ini senada dengan semangat zaman Renaissance yang ingin menghidupkan kembali kearifan kuno dengan menyusuri teks teks klasi. Membaca dan memahami kitab suci dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas, adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat sekuler yang tidak sejalan dengan konsep tafsir atau takwil dalam khazanah Islam. Metode hermeneutik ini secara ijma’ oleh kelompok Liberal di Indonesia bahkan di dunia ditahbiskan sebagai metode baku dalam memahami ajaran Islam baik dalam Qur’an maupun Sunnah. Adanya kemiripan dengan aliran-aliran hermeneutika umum adalah kurang tepat dan terlalu simplistik. Klasifikasi tersebut terkesan men-generalisir. Kaca mata yang digunakannya, meski nampak rasional dan objektif serta sejalan dengan tuntunan keilmuan kontemporer, tapi secara konseptual, terkesan mengikuti framework orientalis yang dichotomis dan parsial. Di samping itu, penggunaan terminologi quasi, objektif, subjektif pun terlihat sangat kental dengan tradisi keilmuan yang digunakan oleh orientalis dalam mengkaji sebuah disiplin ilmu. Ia pun tidak menjelaskan alasannya secara lebih lanjut. Padahal sebenarnya terdapat banyak perbedaan antara aliran-aliran dalam hermeneutika umum dengan pemikiran dalam tafsir. Dari sisi epistemologis, hermeneutika bersumber dari akal. Adapun diantara tokoh yang menggeluti tentang hermeneutika sebagai berikut: 1. Hermeneutika Fazlur Rahman Jika diperhatikan, teori penafsiran terpengaruh oleh teori double movement dan konsep ideal moral-legal formal Fazlur Rahman. Dalam teori gerak gandanya Rahman menerangkan bahwa, gerakan pertama diawali dari pemahaman situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur'an, yakni memahami konteks mikro dan makro pada saat itu. Pemahaman tersebut akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas. Selanjutnya, pemahaman tersebut akan menghasilkan rumusan narasi atau ajaran al-Qur'an yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistemik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Sedangkan langkah kedua adalah pemahaman dari masa turunnya al-Qur'an kembali ke masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca al-Qur'an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer. Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu "ideal moral" dan ketentuan "legal spesifik" Al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, ia mengusulkan agar dalam memahami pesan Al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang, sehingga ia dapat dipahami dalam konteks yang tepat. Aplikasi pendekatan kesejarahan ini menekankan akan pentingnya ideal moral Al-Qur’an daripada ketentuan legal spesifik. 2. Hermeneutika Gadamer Adapun pendapat Gadamer menyatakan bahwa sejarahlah yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh sejarah. Ia mengistilahkan teorinya tersebut dengan teori kesadaran sejarah. Secara umum dapat dijelaskan bahwa inti dari teori kesadaran sejarah tersebut dan teori prapemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus hati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menfasirkannya sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari prapemahaman yang telah terpengaruh oleh sejarah sejarah (pengetahuan awal, pengalaman dll.). Adapun dengan teori the fusion of horizons, ia menyatakan bahwa dalam proses penafsiran, terdapat dua horison utama yang harus diperhatikan dan diasimilisasi, yaitu horison teks dan horison penafsir. Sedangkan teori aplikasi (Anwendung) adalah teori yang menegaskan bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks itu muncul, ia lalu melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/ reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks. Pandangan lain, Hermeneutika Gadamer mensyaratkan agar hasil penafsiran bersifat relatif. Oleh karenanya, maka tafsir tersebut harus selalu direvisi. Implikasinya, ia akan menggugat hal-hal yang sudah mapan dalam penafsiran Al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa penafsir dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsiran menurutnya, merupakan reinterpretation yakni, memahami lagi teks secara baru dan dengan makna baru pula. Padahal, dalam sejarah perkembangan tafsir, terbukti bahwa para ulama tafsir tidak selamanya terpengaruh dengan tradisi, latarbelakang sosial dan budayanya. Fakta bahwa mufassir dari zaman ke zaman, lintas waktu dan ruang, namun tetap memiliki kesamaan pendapat, menunjukan refleksi mufassir menembus relativitas penafsiran. 3. Nasr Hamid Abu Zayd Beliau membedakan antara keterkaitan makna asli dengan makna baru, dan mengikuti gagasan hermeneutika E. D. Hirsch. Menurut Nasr Hamid, makna dari sebuah teks tidak berubah, yang berubah adalah signifikansinya. Makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks dan tanda-tanda. Sedangkan signifikansi adalah apa yang menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang atau persepsi, situasi, atau sesuatu yang bisa dibayangkan. Mengenalkan studi Al-Qur'annya dengan proposisi hubungan antara teks (nas}) dan interpretasi (takwil). Menurutnya, selama ini ulama selalu memisahkan antara teks dan takwil, takwil dianggap sebagai suatu yang tabu, dan dilarang. Ini mengakibatkan teks menjadi tertutup dan makna-makna yang terkandung menjadi tidak bisa dicapai. Sehingga menurutnya, perlu untuk meninggalkan metode (yang menurutnya) tradisional, dengan meletakkan ‘konsep teks’ (mafhum al-nas}) sebagai pusat pengkajian, sehingga penggunaan teori hermeneutika menjadi keniscayaan. Dengan demikian dapat meminimalisasikan subyektifitas dan kepentingan-kepentingan ideologis dalam interpretasi. Menurut Nashr Hamid adalah takwil yang hanya didasarkan oleh akal manusia sepenuhnya yang tentunya akan sangat bersifat relatif jika di terapkan dalam penafsiran al-Qur'an. Di samping itu, jika ulama menggunakan takwil pada ayat-ayat mutasyabihat saja, tapi, Nashr Hamid menerapkannya pada ayat-ayat yang sebenarnya muhkamat. E. Isu-isu Hermeneutika al-Qur’an 1. Isu historisitas al-Qur’an Dalam memahami al-Qur’an yang mengarah pada konsep historis menyebabkan para orientalis berusaha untuk mengoreksi sejarah al-Qur’an, bahwa dari beberaba abad yang lalu dengan sekarang ini tentunya memiliki banyak perbedaan karena meninjau dari segi social masyarakat, antropologi, dan budaya masyarakat saat itu. Sehingga dibutuhkanlah cara yang paling ampuh untuk mengkritik al-Qur’an. Seperti teori Abu Zaid “Ansanat an-Nash al-Qur’an” (tema humanisasi teks al-Qur’an) yang initnya adalah mempertanyakan teks dari al-Qur’an itu, asli teks manusia atau asli teks dari Allah swt, dia mengira kalau Nabi sendiri yang membuat teks seperti itu sebab yang dimasukkan ke dalamnya tergantung dari pemikiran beliau serta al-Qur’an itu merupakan produk budaya. Menurut fahmi salim bahwa al-Qur’an itu sebenarnya telah diturunkan sesuai dengan kondisi zaman karena sesuai dengan azbab an-Nnuzulnya bahkan ada memang ayat-ayat yang diturunkan sesuai dengan masa depan yang seyogyanya tidak bisa masuk dalam akal manusia karena masih jauh dari perkiraaan. Bahkan kita mengetahui kalau al-Qur’an pada saat masa-masa diturunkanya, bangsa kafir Qurasy mencoba untuk membuat serupa dengan al-Qur’an akan tetapi tidak bisa membuat serupa dengannya. Sesuai firman Allah dalam al-Qur’an Surah al-Isra’ ayat 88 sebagai berikut:                     Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". Dari ayat di atas telah diberitahukan kepada kita bahwa manusi dengan manusia yang lain bergabung bahkan disebutkan bangsa jin pun kalau ikut bergabung untuk membuat serupa dengan al-Qur’an maka mereka tidak dapat membuatnya. Oleh karena itu, siapapun manusia dan setinggi apapun ilmunya tetap dia tidak akan bisa membuat serupa dengan al-Qur’an yang tercinta kita ini. 2. Isu kritik Historis dan Sastra al-Qur’an Dalam hal ini Amin al-Khulli (1895-1966M) melakukan penelitian yang berkaitan dengan metode susastra, metode ini menurut peneliti lebih ke arah keindahan dalam bahasa dan uslub al-Qur’an, efek seni dan psikologis ketika al-Qur’an itu diturunkan dan diterima oleh penerimanya. kemudian metode penafsirannya banyak diikuti oleh murid-muridnya diantaranya, Muhammad Khalaf Allah, Aisyah Abd al-Rahman bint al-Syati’, Syukri Muhammad Ayyad dan Nasr Hamid Abu Zaid. Kemudian M. Arkoun dalam takwil kisah al-Qur’an menerapkan metode antropologi terhadap penafsiran. Dan berusaha menghimpun pengetahuan tentang manusia dari berbagai aspek serta untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang manusia, kehidupannya dan kontribusi peradaban masa lalu sampai sekarang ini untuk membaca kehidupan manusia di masa depan. Pendapatnya dia menolak faktualisasi sejarah dalam al-Qur’an. Lalu mempertanyakan kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan mitos atau hanyalah realitas. 3. Isu Dialektika Teks dan Realitas Mengenai isu ini adalah mereka menganggap bahwa al-Qur’an turun sesuai dengan sebab diturunkannya, ini berarti hokum-hukum yang ada dalam al-Qur’an tidaklah absolut karena turun sesuai dengan zamannya. Sehingga bisa menimbulkan pertanyaan kenapa mesti dipakai untuk peradaban selanjutnya padahal al-Qur’an diturunkan jauh sebelumnya karena itulah hokum-hukumnya pun yang tertera harus disesuaikan juga dengan kekinian. Menurut Sa’id Asymawi bahwa kaidah asbab nuzul itu tidak sesuai dengan syar’I karena tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah, hanya para fuqaha yang memberikan cara untuk mengkajinya dengan melihat sebab-sebab diturunkannya al-Qur’an tersebut. Padahal tidak karena dalam hadis Nabi telah disampaikan tentang asbab nuzul itu. Seperti hadis dari Abdullah bin Mas’ud tentang seseorang yang tidak sengaja mencium pipi seorang wanita kemudia Nabi menyebut QS. Huud: 114 sebagai berikut yang Artinya: “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” Kemudian laki-laki itu bertanya, “wahai Rasulullah apakah ayat ini hanya berlaku untuk saya saja?” Nabi menjawab, “itu berlaku untuk seluruh umatku”. Oleh karena itu, jelaslah bisa dipahami bahwa asbab nuzul merupakan cara untuk menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan hukum Syar’i. F. Kritik Atas Metode Riset Ilmu-ilmu Humaniora Barat-Sekuler untuk “membaca” al-Qur’an 1. Kelebihan dan kekurangan metodologi tafsir Mengenai metode penafsiran mempunyai kelebihan ketika dia mampu mengungkap fenomena-fenomena yang menjadi kemiripan dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga bisa dikontekskan untuk kehidupa yang sesuai dengan masanya. Serta sangat berperan penting dalam menjadi penengah antara peneliti dengan yang diteliti, juga mengutamakan kenetralan dalam masalah penelitian. Adapun kekuranganya adalah banyaknya metode yang saling tumpang tindih antara satu dengan lainnya seperti konsep struktur menurut metodologi marxis dengan metodologi strukturalisme. Dengang demikian akan menghasilkan pemikiran yang berbeda-beda pula. 2. Krisis ilmu Humaniora Barat Dalam hal ini, teori yang berkembang dibarat adalah merupakan teori-teori yang selalu mengalami perubahan tergantung pada kondisi dan suasana saat teori itu muncul. Karena itulah teori baru muncul untuk menelaah al-Qur’an sangat susah sekali disebabkan Kalam Allah memang sangat terjaga dari masa ke masa. Sehingga susah untuk diadakan pembaharuan dalam melihat teks-teks yang ada. Tujuan utama dari sekian banyaknya teori adalah untuk menghilangkan kesakralan yang ada di dalam al-Qur’an itu sendiri, ujung-ujungnya menggoyahkan keyakian para pemeluk agama islam saat ini. Agama islam muncul bukan paksaan tapi memang sesuai dengan kebutuhan zaman yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan prilaku manusia, semakin hari terlihat makin menampakkan kebobrokan moral. G. Hermeneutika dalam Penafsiran Teks-Konsep dari Teori-Aplikasi dalam Pandangan Penulis. Menurut penulis bahwa dalam penafsiran teks-konsep itu dalam aplikasinya tidak bisa diterapkan dalam al-Qur’an karena melihat al-Qur’an itu yang diturunkan asli melalui perantara malaikat Jibril. Tidak ada kemungkinan kesalahan dalam perantaraan itu, dalam pandangan barat bahwa bisa terjadi penyelewengan dalam hal itu karena melihat sosok nabi yang dianggap sebagai manusia biasa. Padahal beliau bukanlah manusia biasa seperti halnya kita. Nabi sudah diberikan keistimewaan melebihi manusia pada dasarnya sehingga tidak kemungkinan kesalahan dalam penyampaian al-Qur’an kepada para sahabat kemudian ke tabi’in sampai kepada para ulama. Memang Allah sendiri yang sudah mengatakan bahwa kami menurunkan al-Qur’an dengan penjagaan dari-Nya bersama para hamba-Nya yang taat dalam menjaga keotentikan di dalamnya sampai kiamat datang kepada kita semua. Kita tahu bahwa munculnya hermeneutika berawal pada keraguan orang-orang kristiani dalam keotentikan kitabnya bible tersebut sehingga memacu keraguan dalam pandangan mereka. Akhirnya melakukanlah krtitikan terhadap kitabnya untuk mengetahui kebenaran yang sejati karena telah meragukan kitab sucinya. Para penggelut metode hermeneutika ini sangat mengandalkan akal mereka, bahkan ayat yang kita kenal dengan ayat mutasyabih bagi mereka itu bisa diketahui apa maksud dari ayat-ayat itu dengan mengandalkan logika melalui pendekatan antropologi, sosiologi, epistemologi, kronologi dan lain sebagainya asalkan mereka mendapatkan apa yang diinginkan dalam penafsiran itu tanpa melihat kesakralan dari al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab yang suci dan bukan hasil karangan manusia beda dengan kitab-kitab suci yang lain. Yang penganutnya sudah merubahnya dari teks aslinya sehingga berkembangnya waktu muncullah para kritikus dalam bidang kajian teks keagamaan. Sehingga mereka menginkan perubahan dalam pemahaman keagamaan yang disesuaikan dengan konteks kekinian. Akan tetapi dalam aplikasinya tidak melihat batasan-batasan dalam akal manusia yang tidak bisa menjangkau kepada hal-hal yang tidak nampak atau berkaitan dengan masa depan. Manusia mana yang kira-kira mampu mengetahui hal itu walaupun dia dijuluki sebagai manusia yang paling cerdas di dunia?, pertanyaan inilah yang mesti dijadikan pegangan dalam memakai akal manusia. H. Kesimpulan Dilihat dari asal-usulnya, istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad 18 M, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, baik merdeka semenjak lahir ataupun merdeka sesudah dibebaskan dari yang semula berstatus ‘budak’. Takwil diambil dari kata al-Iyalah atau al-Iyal yang berarti siasat dan tafsir secara bahasa adalah “penjelasan” atas sesuatu baik karena maknanya jelas atau pun yang lain maka makna tafsir dengan takwil terhubung dari segi dua hal yang umum dan khusus dari salah satu arah.Hermeneutika secara bahasa yaitu; Di dalam bukunya Richard E. Palmer juga disebutkan bahwa hermeneuein berasal dari kata Yunani “hermeios” berpatokan kepada seorang pendeta yang bijak, Delphic. hermeneutika dikhusukan kepada proses mengubah sesuatu atau situasi yang tidak bisa dipahami. Adapun Istilah hermeneutika sebagai ilmu tafsir pertama kali diperkenalkan oleh seorang teolog jerman bernama Johann Konrad Dannhauer (1603 – 1666) pada sekitar abad ke 17 dengan dua pengertian yaitu bermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami Isu-isu Hermeneutika al-Qur’an meliputi; Isu historisitas al-Qur’an, Isu kritik Historis dan Sastra al-Qur’an, dan Isu Dialektika Teks dan Realitas dari ketiga ini bermaksud untuk mempertanyakan keabsahan dalam al-Qur’an mulai dari sejarah turunnya sampai pada teks dari al-Qur’an itu sendiri. Para pemikir liberalisme dalam menafsirkan al-Qur’an tidak akan mampu untuk mengupas tuntas terhadap makna yang hakiki dalam al-Qur’an karena keterbatasan dalam metodologi yang selalu mengalami perubahan atau tidak menentu karena hanya berlaku pada saat penelitian itu berjalan. Sehingga sepatutnya kita lebih waspada dalam menerima metodologi yang datangnya dari barat bahkan dari golongan kita sendiri. I. Saran Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini kita dapat mengambil perbandingan tentang teori-teori yang berkembang selama ini dengan cermat dan teliti tentang munculnya liberalisme dalam Studi Islam. J. Daftar Pustaka Abdullah Amin, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Press, 2004. Arif Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani Press, 2008. Ahmad Jaiz Hartono, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010. Amal Taufik Adnan, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo Modernisme Islam Dewasa Ini Bandung: Mizan, 1993. Armas Adnin, “Tafsir Al-Qur’an atau ‘Hermeneutika Al-Qur’an’, Islamia, I, Maret 2004. Habib Zainal, Hermeneutika Gadamerian, Malang, UIN Maliki Press, 2010. Husaini Adian, Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Huda Lalu Nurul Bayanil, Kritik Studi Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd, Ponorogo: CIOS, 2010. Muzir Iyniak Ridwan, Hermeneutika Filosofis, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2010. Mustaqim Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta:LKiS, 2011. Salim Fahmi, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2014. Setiawan M. Nur Kholis, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar,(Yogyakarta: el-SAQ Press, 2006. Syamsuddin Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009. Zarkasyi, Hamid Fahmy, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonilias, Ponorogo: CIOS-ISID, 2007